Anak Rantau Mengimbau Jangan Ada Jual Beli Tanah di Tepian Danau Toba!

Danau Toba

Oleh Bobi R Sitinjak 

 Horas, Mejuahjuah, Njuahnjuah, demikianlah salam khas suku Batak yang mendiami tepian Danau Toba sekitarnya di wilayah Provinsi Sumatera Utara. 
 
Dalam beberapa bulan terakhir ini, beredar pemberitaan di media bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan mengadakan pertemuan sekaligus melakukan penandatangan Nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah China khususnya kerjasama dalam bidang investasi atau penanaman modal di wilayah percepatan Kawasan Wisata Strategis dan Super Prioritas kawasan Danau Toba. 

Hal ini memunculkan berbagai tanggapan dan reaksi dari kalangan masyarakat khususnya suku Batak Toba yang ada di perantauan. Muncul kegelisahan dari anak perantau Toba yang merupakan kelahiran asli ataupun punya garis keturunan dan pertalian darah asli dari sekitaran tepian Danau Toba. Kegelisahan tersebut adalah, jangan sampai ada transaksi jual beli tanah tepian Danau Toba kepada tangan di luar suku asli Batak, baik Karo, Simalungun, Toba, Pakpak, Angkola/Mandailing selaku pewaris dan pemilik asli tanah leluhur dan bersejarah tersebut. Anak perantau Toba mengkhawatirkan jangan sampai hak kepemilikan tanah berpindah tangan kepada pendatang yang tidak punya ikatan darah dan silsilah turun temurun dengan suku Batak yang mendiami seputaran Danau Toba. 

Dalam hal ini, saya selaku penulis opini ini berpendapat, bahwa kekhawatiran tersebut bukan bertujuan untuk menghambat Investasi, pembangunan infrastruktur oleh pemerintah maupun kunjungan para wisatawan ke Danau Toba, namun semata mata untuk memastikan bahwa jangan sampai penduduk asli suku Batak di tepian Danau Toba menjadi "menumpang" di kampung sendiri. Hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian bersama oleh seluruh elemen masyarakat maupun pemangku kepentingan, agar tetap mempertahankan adat budaya suku Batak sebagai suku asli yang mendiami wilayah tepian Danau Toba sekitarnya.

Adapun opsi yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan adalah dengan sistem sewa tanah dengan sistem perjanjian waktu tertentu, misalnya 10 - 20 tahun dan sewaktu waktu dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan kesepatan perjanjian sewa menyewa. Atau juga misalnya bisa dengan cara mekanisme bagi hasil profit sharing ataupun dengan System Build Operate & Transfer "BOT", sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri diatur dalam Permendagri 19 Tahun 2016.

Adapun himbauan untuk tidak menjual tanah tepian Danau Toba sekitarnya merupakan pesan moral dan nasihat sakral sejak turun temurun bagi orang Batak sendiri, khusus Orang Toba yang berbunyi Arga Do Bona Ni Pinasa, yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah, betapa berharganya pangkal pohon nangka. Yang dimaksud dengan pangkal pohon nangka bukan dalam arti fisik pohon nangkanya, namun lebih kepada arti kiasan, dimana pangkal pohon nangka yang dimaksud adalah tanah kampung halaman sendiri beserta seisinya termasuk keluarga ber silsilah secara turun temurun.

Untuk itu, saya selaku penulis berharap besar kepada semua yang membaca tulisan saya ini, khususnya yang saya hormati semua keluarga saya "napinarsangapan" semua suku Batak, khususnya orang kita Toba, Oppung, Bapatua, Amanguda, Tulang, Amangboru, Lae, Ito, Inangbao, Pariban, Abang, Kakak semua dan siapa saja pemilik bidang tanah tepian Danau Toba sekitarnya, menghimbau dan memohon jangan menjual bidang tanah pinggiran Danau Toba sekitarnya tersebut kepada pihak lain di luar suku Batak, agar keturunan kita tidak kehilangan hak atas Warisan adat, budaya, tanah dan Danau Toba tersebut.

Jangan sampai anak dan cucu kita suatu waktu "tercabut dari akarnya" sehingga kehilangan hak untuk Marsolu-solu (Bersampan-sampan), marlange-lange di Topi ni Tao (bermain sampan dan berenang-renang), dan margitar marsulim, mar hasapi (bermain Gitar, bermain Seruling, bermain alat musik Kecapi) dan lain lain di atas Danau Toba tersebut karena sudah terjual.

Akibatnya, anak dan cucu kita suatu waktu menjadi penyewa yang harus membayar uang sewa atau tiket masuk, karena telah kehilangan hak atas tanahnya, dan ketika masuk ke tepian/ pantai Danau Toba harus membayar untuk dapat menikmati keindahan Danau Toba, wajib membayar dengan cara membeli tiket masuk dengan harga yang cukup mahal.

Jikapun memang harus menjual, jangan sampai jatuh ke pembeli yang bukan orang Toba atau Suku Batak lainnya, pastikan pembelinya benar benar orang kita "Batak Asli" dan jelas silsilah/tarombo dan kekerabatan keluarganya secara turun temurun di lingkungan Danau Toba, dalam bahasa Toba di sebutkan istilahnya akka hita na sahuta i, na sahorong na mardongan tubu, mardongan sahuta i ma.

Untuk diketahui, bahwa terdapat tujuh kabupaten yang mengelilingi Danau Toba, yang merupakan suku Batak sebagai penduduk asli tepian Danau Toba, antara lain : Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbanghas), Kabupaten Samosir.***

Penulis adalah wartawan the Jakarta Observer Biro Sumut

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.