Partai Keadilan dan Persatuan (PKP)

JAKARTA, Jakartaobserver.com – Kehidupan nelayan dan pelaku usaha perikanan Indonesia kian sulit dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
 
Dikeluarkannya PP No.85 tanggal 19 Agustus 2021 dan telah diundangkan dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 188, dan tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6710.
 
Keluarnya PP tersebut diikuti dengan terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2021 tentang harga patokan ikan untuk penghitungan pungutan hasil perikanan pada tanggal 18 September 2021(Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021) dan Nomor 87 tahun 2021 tentang produktivitas kapal penangkapan ikan tanggal 18 September 2021 (Kepmen KP Nomor 87 tahun 2021).
 
Keluarnya PP dan Kepmen tersebut mendapat respons yang luar biasa dari berbagai kalangan. Dewan Pimpinan Nasional Partai Keadilan dan Persatuan (DPN PKP) di bawah komando Mayjen TNI Mar (Purn) Yussuf Solichien menolak keras keluarnya peraturan tersebut.
 
Yussuf yang juga Ketua Umum Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) tersebut menginstruksikan kepada jajarannya untuk mengkaji berbagai peraturan tersebut guna mendorong kesejahteraan nelayan terutama dalam kondisi di tengah badai pandemi Covid-19 saat ini.
 
Ketua Bidang Maritim DPN PKP Dr Toga Mahaji menyampaikan hasil analisisnya terkait peraturan tersebut. Menurut dia, peraturan-peraturan tersebut bertentangan dengan komitmen untuk pemerintah membantu dan melindungi nelayan sesuai amanat UU No7 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.
 
"Bahwa DPN PKP setelah mengkaji dan menelaah secara mendalam, PP No85 tahun 2021, Kepmen KP Nomor 86 tahun 2021, dan Kepmen KP Nomor 87 tahun 2021 bertentangan dengan UU No7 tahun 2016 dan sangat memberatkan masyarakat Indonesia pada umumnya serta nelayan Indonesia pada khususnya dalam situasi dan kondisi perekonomian indonesia saat ini. PP dan Kepmen KP tersebut tidak berpihak kepada masyarakat nelayan,” ujar Toga dalam keterangan tertulisnya kepada media, Minggu (14/11/2021).

Sambung dia, dalam Pasal 1 angka 4 UU Nomor 7 Tahun 2016, berbunyi: “nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkapan ikan berukuran paling besar sepuluh gross ton (GT)”.
 
Selanjutnya dalam Pasal 36 ayat(1) huruf (a) UU Nomor 7 tahun 2016, berbunyi: “Membebaskan biaya penerbitan perizinan yang terkait dengan penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengolahan dan pemasaran dan usaha pergaraman bagi nelayan kecil, pembudidaya ikan kecil atau petambak garam kecil, termasuk keluarga nelayan dan pembudidaya ikan yang melakukan pengolahan dan pemasaran”, dan Pasal 36 ayat (1) huruf (b), berbunyi: “Membebaskan pungutan usaha perikanan atau usaha pergaraman, baik berupa pajak maupun retribusi bagi nelayan kecil termasuk keluarga nelayan dan pembudidaya ikan yang melakukan pengolahan dan pemasaran”.
 
“Setelah dikaji dan diteliti, PP No 85 Tahun 2021, KepMen KP Nomor 86 tahun 2021, KepMen KP Nomor 87 tahun 2021, sangat memberatkan masyarakat nelayan dan secara teknis akan sangat sulit untuk diterapkan baik tentang teknis harga oatokan ikan untuk penghitungan pungutan hasil perikanan maupun teknis produktivitas kapal penangkap ikan,” jelas Toga.
 
DPN PKP sangat berharap kepada Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk peka dan hadir di tengah-tengah masyarakat dalam mendengar aspirasi dan keluh kesahnya sehubungan dengan telah diberlakukannya PP No 85 Tahun 2021, KepMen KP Nomor 86 Tahun 2021 dan KepMen KP Nomor 87 Tahun 2021 dan apabila PP No85 Tahun 2021, Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021, dan KepMen KP Nomor 87 Tahun 2021 tetap dipaksakan untuk dilaksanakan akan menyebabkan perikanan Indonesia kehilangan daya saing, membebani masyarakat untuk memperoleh gizi, perikanan ambruk karena nelayan tidak turun melaut dan akan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas perekonomian, daya saing industri terganggu dan keamanan nasional.
 
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka DPN Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) beserta seluruh Dewan Pimpinan Provinsi/Dewan Pimpinan Kabupaten beserta seluruh jajarannya yang mewakili masyarakat nelayan menyatakan menolak pemberlakuan PP No 85 Tahun 2021, Kepmen KP Nomor 86 Tahun 2021, dan KepMen KP Nomor 87 Tahun 2021.
 
“Kami meminta kepada Pemerintah melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk merevisi," tegasnya.
 
Ketua HNSI DKI Jakarta H Yan M Winatasasmita menambahkan bahwa selain PP No 85 Tahun 2021, KepMen KP Nomor 86 Tahun 2021, dan KepMen KP Nomor 87 Tahun 2021, KepMen KP Nomor 31 Tahun 2021 tentang denda VMS juga harus direvisi atau dirubah yang sebelumnya denda per hari menjadi denda per trip.
 
"Kami mengalami hambatan, ikan yang dieskpor ke Tiongkok akhir - akhir ini butuh waktu dua bulan antri di karantina maunya langsung saja tidak banyak birokrasi, itu untuk kemudahan. Dan memangkas birokrasi agar pengurusan dilimpahkan ke KKP," harapnya.
 
Menurutnya, penetapan zona industri dan terukur Wilayah Pengelola Perikanan (WPP) di berlakukan terhadap perusahaan baru yang batas Rp200 miliar dan memberi kesempatan luas kepada nelayan atau pelaku usaha yang sudah ada izin maupun yang baru untuk tetap bisa beroperasi di WPP tersebut karena perorangan sudah dibatasi 300 Gros Ton (GT) keatas harus berbadan hukum, dengan begitu adil bagi para pihak dan tidak dimonopoli.
 
"Semoga DPN PKP beserta seluruh jajaran pengurusnya membantu aspirasi nelayan dan semoga PKP semakin jaya, kokoh dan kuat, boleh lolos verifikasi partai politik 2024 dan lolos Parliamentary Threshold (PT)," Imbuhnya. (jo6)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.