ABK WNI Terus Jadi Korban, Mekanisme Rekrutmen dan Pengiriman Mendesak Diperbaiki

Kantor LPSK

JAKARTA, JO – Mekanisme rekrutmen dan pengiriman anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia mendesak diperbaiki. Hal ini disebabkan ABK WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) jumlahnya lumayan tinggi. Jumlah permohonan perlindungan ke LPSK pada tahun 2020 juga lebih tinggi dari 2019. 

Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo di Jakarta, Minggu (7/2/2021). Hal ini disampaikannya menyikapi data jumlah kematian ABK WNI sepanjang tahun 2020 yang dilansir Destructive Fishing Watch (DFW). 

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR RI Slamet menyoroti tentang lemahnya perlindungan ABK Indonesia yang menurutnya disebabkan karena regulasinya bersifat parsial, belum mengatur perlindungan dari hulu sampai hilir. 

Sependapat dengan Slamet, Antonius mengatakan bahwa pembenahan dari hulu bisa dilakukan dengan menerapkan mekanisme pemberangkatan satu pintu. “Agar (pemberangkatan) satu pintu, bisa dibentuk desk bersama antara Kemenaker, Kemhub, Kemdagri dan Pemda. Jika perlu keluarkan SKB (surat keputusan bersama) tiga Menteri,” ujar Anton. 

Selanjutnya, diperlukan pendataan dan pembinaan ship manning agency. Maksudnya, agency harus dibina dan diawasi agar hanya memberangkatkan ABK yang tersertifikasi, sediakan kontrak kerja yang jelas, asuransi, dan lainnya. 

Jika ada ship manning agency yang terlibat TPPO perlu dibina, jika perlu dicabut izin operasionalnya. “Data ship manning agency yang terindikasi terlibat TPPO, antara lain ada di LPSK dan pengadilan” ungkap Anton.

Selain itu, Anton juga mengingatkan persoalan pemenuhan hak ABK WNI yang menjadi korban TPPO, khususnya restitusi atau ganti kerugian dari pelaku kepada korban. “(Restitusi) ini harus menjadi perhatian semua stakeholder,” imbuh dia. 

Sebab, lanjut Anton, dengan restitusi korban bisa mendapatkan hak-hak ketenagakerjaannya karena salah satu komponen dalam perhitungan restitusi adalah gaji yang belum dibayarkan. 

Untuk itu, regulasi tentang Restitusi harus dilakukan perubahan. “Pasal 50 (4) UU No 21/2007 tentang restitusi dapat diganti dengan pidana kurungan, harus diubah,” katanya. 

Tidak itu saja, penyusunan aturan pelaksana tentang penyitaan dan pelelangan kekayaan pelaku TPPO untuk membayar restitusi harus segera diselesaikan. 

“Dalam konteks penegakan hukum, perlu mendorong proses hukum terhadap korporasi yang terbukti terlibat TPPO,” ujarnya. 

Catatan LPSK, pada tahun 2020, persentase restitusi bagi korban tindak pidana relatif kecil. Dari total perhitungan restitusi yang dilakukan LPSK selama tahun 2020 sebesar Rp7.909.659.387, yang diputus dan dikabulkan hakim berjumlah Rp1.345.849.964. Sedangkan yang dibayarkan pelaku hanya berjumlah Rp101.714.000. (jo4)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.