Wapres Jusuf Kalla
JAKARTA, JO- Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan keynote speech pada seminar yang digelar di sela Pertemuan Tahunan IMF-World Bank, di di BICC, Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018) pagi.

Sebagai salah satu di antara 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana, pemerintah Indonesia mengajak para peserta yang hadir dalam Annual Meeting atau Pertemuan Tahunan International Monetary Fund-World Bank Group untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.

Ajakan tersebut disampaikan oleh Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menyampaikan keynote speech pada seminar yang bertemakan “Disaster Risk Finance and Insurance” di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018) pagi.

“Momen ini menjadi momen yang tepat karena kita baru saja mengalami bencana, dan mencari solusi yang tepat apabila terjadi bencana. Bagaimana upaya kita mengatasi bencana dengan ketahanan fiskal yang terjaga, dan tidak hanya tergantung pada kerjasama internasional,” kata Wapres.

Sementara Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD, bahkan harus merealokasi anggaran.

“Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. Sebuah strategi jangka panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal” kata Sri Mulyani.

Ia menjelaskan, fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi. “Namun kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi,” kata Sri Mulyani.

Karena itu, lanjut Menkeu, Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana.

“Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah,” ungkap Sri Mulyani.

Untuk itu, pada tahun anggaran 2019 mendatang, menurut Sri Mulyani, semua gedung pemerintah akan diasuransikan, meski belum termasuk rumah-rumah penduduk menengah dan bawah karena mekanisme aruransi untuk itu belum tersedia.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, pada 2004-2013, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp126,7 triliun akibat bencana.




Menurut Menkeu, selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp3,1 triliun. Sementara bencana alam besar seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2014 mencapai Rp51,4 triliun.

“Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam,” jelas Sri Mulyani.

Karena itu, menurut Menkeu, pemerintah Indonesia sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) mengenai pembiayaan dan asuransi risiko bencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Selain ingin berbagi tentang pendanaan bencana seperti instrumen asuransi yang bisa dengan segera dicairkan, pada sisi lain Indonesia juga ingin melihat negara-negara lain dalam menangani pembiayaan bencana.

“Berdasarkan pengalaman selama ini, pembiayaan bencana hanya cenderung fokus pada tahap emergency, recovery dan rekonstruksi, sehingga relatif tidak menyentuh pembiayaan dalam aspek transfer risiko,” ungkap Menkeu.

Seminar yang merupakan usulan Indonesia ini juga dihadiri Presiden Bank Dunia, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta dua menteri dari Jepang dan Filipina.

Meski merupakan usulan Indonesia, negara-negara lain yang hadir pada Pertemuan Tahunan IMF-WB di Bali kali ini juga merasa perlu untuk ikut dan terlibat aktif dalam pembahasan karena semua negara berpotensi menghadapi bencana

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.