Ilustrasi
JAKARTA, JO – Memasuki tahun 2018, angka kasus kekerasan seksual khususnya terhadap anak menunjukkan peningkatan. Tak hanya perempuan, laki-laki juga berpotensi menjadi korban. Bahkan, belakangan jumlah anak korban berjenis kelamin laki-laki makin banyak.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, yang menambah miris, seorang pelaku, korbannya bisa lebih dari satu. Fenomena ini menunjukkan peristiwa tersebut terjadi secara berulang. Contoh pada kasus di Tangerang dengan pelaku W alias Babe, yang korbannya mencapai 43 orang. Kemudian di Jakarta Timur yang korbannya berjumlah 16 orang dan masih banyak kasus lainnya.

“Muncul pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat di sekitar lingkungan korban, bagaimana peran mereka,” ujar Semendawai pada konferensi pers di kantor LPSK,Jakarta, Kamis (1/2-2018).

Semendawai menyoroti banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Dari pemberitaan di media massa, untuk bulan Januari saja, jumlah anak korban kekerasan seksual bisa lebih dari 100 orang yang tersebar di beberapa daerah. “Itu yang terpantau. Masih banyak kasus-kasus lainnya. Makin banyak anak yang menjadi korban. Rata-rata mereka takut untuk melaporkan kejadian yang menimpanya,” tutur dia.

Baca hotel terbaik di Paris, tulis komentarmu
Bandingkan harga hotel dan reviewnya di New York City
Baca review rental liburan di seluruh dunia
Ada apa di London? Cari hotel termurah dan nyaman disana!



Selain takut, kesulitan dalam pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual anak, lanjut Semendawai, antara lain juga disebabkan orang tua yang tidak mendukung anaknya mengungkap kejadian yang dialaminya, sulitnya pembuktian, kurangnya keberpihakan penyidik terhadap korban, rasa malu pada diri korban, trauma dan kurangnya dukungan dari lingkungan di sekitar korban.

Pada konferensi pers yang dihadiri wartawan dari media cetak, online dan elektronik itu juga hadir Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto dan psikolog Kassandra Putranto. Hal senada dikatakan Ketua KPAI Susanto. Menurutnya, angka kasus kekerasan seksual pada 2015 tinggi. Kemudian menurun pada tahun 2016 dan turun drastis pada 2017.

“Tahun 2018 kelihatannya naik drastis. Januari saja lebih dari puluhan kasus yang terpantau,” katanya.

Adapun motif dari kasus kekerasan seksual ini ada beberapa hal, antara lain karena faktor ekonomi, dendam maupun dorongan seksual tinggi. Sedangkan jika berbicara mengenai ciri-ciri pelaku, jelas Susanto, sulit untuk mengetahuinya. Dari kajian KPAI, tidak ada ciri khusus pelaku seksual anak, baik dari warna kulit, pendidikan atau profesi. “Yang bisa kita lakukan adalah memantau anak-anak kita, dimana pun, kapan pun,” ujarnya.

Psikolog Kassandra Putranto menilai kekerasan seksual anak ini bagai fenomena gunung es. Yang tampak hanya bagian puncaknya saja, sedangkan di bawahnya sulit terdeteksi. Dia juga menyoroti beberapa kelemahan dalam penanganan korban. Salah satunya layanan bagi korban yang tidak berkesinambungan. “Korban kekerasan seksual membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar dan harus berkelanjutan,” kata dia.

Pada beberapa kasus, ungkap dia, ada trauma yang diderita korban yang menarik dikaji. Sebagai contoh, ada korban yang justru senang dengan pelaku karena pelaku diakui lebih menyayangi mereka. “Pengawasan terhadap anak sangat. Tanpa sadar kadang orang tua yang membuka peluang pelaku kekerasan seksual mendekat. Bahkan, pelaku rela menunggu korban sampai orang tua mereka lengah,” tukasnya. (jo-2)






Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.