Ilustrasi
JAKARTA, JO- Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, wilayah Jabodetabek sudah menjadi kesatuan yang saling mengikat.

Oleh karena itu, perlu adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) khusus yang mengaturnya secara terintegrasi.

Untuk mengintegrasikan tata ruang wilayah ini, pihaknya saat ini sedang melakukan revisi Undang Undang No26/2007 tentang Penataan Ruang. Bila peraturan sudah rampung, Kementerian ATR/BPN juga akan membuat Kantor Wilayah BPN Jabodetabek.

“Kami ajukan revisi terbatas UU tata ruang . Kami katakan, RTRW ataupun RDTR di Jabodetabek akan sama sehingga jelas peruntukkan lahannya,” ujar Ferry setelah acara kuliah umum bertajuk Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Perkotaan di Universitas Trisaksti, Jakarta, pekan lalu.

RTRW kota/kabupaten yang biasa disebut RTRWK menjadi acuan bagi pemerintah daerah setempat dalam menerbitkan Izin Prinsip dan Izin Lokasi bagi masyarakat pengguna ruang.

Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

Selanjutnya, komponen RDTR dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan penjabaran lebih detil dari dokumen RTRWK yang berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Ferry Mursyidan mengatakan, saat ini perkotaan mengalami tiga masalah utama. Pertama, tidak memberikan ruang dan fasilitas yang nyaman bagi mobilitas penduduk dalam bentuk sarana transportasi.

Kedua, pengguna lahan perkotaan membangun pemahaman diri yang eksklusif. Sebagai contoh, dari koridor Semanggi sampai dengan Kuningan, setiap gedung memiliki pagar pemisah dan akses pintu sendiri sehingga menimbulkan titik-titik kemacetan. Pasalnya, kendaraan selalu berhenti saat ada mobil yang keluar atau masuk gedung.

Masalah eksklusifitas juga ditambah dengan problem ketiga, yakni kurangnya ruang sebagai kewajiban sosial. Jadi pengembangan gedung yang ada kurang memikirkan kebutuhan lebar jalan ataupun efek negatif lainnya yang timbul dari keberadaan sebuah bangunan properti.

Sebagai solusi, dalam revisi UU no.26/2007 maupun peraturan turunannya, Kementerian ATR/BPN mendorong penetapan sebuah RTRW atau RDTR suatu wilayah berlaku untuk 10 tahun ke depan dengan transportasi umum sebagai sarana mobilitas utama masyarakat.

Kemudian, setiap bangunan hanya boleh memakai 60 persen - 70 persen dari total luas lahan dan selebihnya menjadi ruang terbuka. Khusus properti komersial seperti mal dan kantor, komposisi gedung dan area terbuka berbanding 50:50. (jo-3)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.