Joko Widodo
JAKARTA, JO- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri sebaiknya segera membuka ruang komunikasi politik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Langkah tersebut sangat penting untuk memuluskan langkah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menuji kursi RI-1.

Diingatkan juga, komunikasi politik Mega dan SBY menjadi sangat penting agar aspirasi rakyat tidak menguap, berdasarkan pengalaman Pemilu 1999 dimana PDIP memenangkan 33,75 persen suara namun tidak mampu mengantarkan Mega ke kursi presiden. Karena pada saat itu, Megawati dan PDIP merasa yakin akan mampu merebut kursi RI-1 sehingga menutup diri, yang kemudian dikandaskan manuver Poros Tengah.

“Dengan posisi SBY sebagai Presiden, Jokowi sebagai gubernur harus mendapatkan izin jika ingin maju sebagai calon presiden. Atau, jika sangat pecaya diri akan memenangkan Pemilu Presiden, Jokowi dapat mengambil langkah mundur dari kursi Gubernur DKI Jakarta. Itu menurut UU Pilpres 2008,” ungkap Sekretaris Jenderal Founding Fathers House (FFH) Syahrial Nasution, di Jakarta, Senin (7/4).

Dikatakan, dalam UU No42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dijelaskan di Pasal 7 ayat 1 bahwa Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.

Sedangkan di Pasal 7 ayat 2 menyatakan, surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.

Apabila PDIP dan Mega enggan memulai langkah komunikasi politik dengan SBY, bisa saja peluang Jokowi mengantongi izin untuk betarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 akan terhambat. Sebab, izin dari SBY menentukan dan sebagai salah satu instrumen yang wajib dipenuhi PDIP untuk memenuhi persyaratan administratif di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karenanya, kebuntuan komunikasi politik seperti ini harus segera diantisipasi PDIP dan Megawati.

Sementara peneliti senior FFH Dian Permata menambahkan, hubungan Mega dan SBY tidak berjalan harmonis. Hal ini dilatarbelakangi oleh peristiwa politik pada tahun 2003. Dimana saat itu SBY mengundurkan diri sebagai Menteri Kordinator Politik, Hukum, dan HAM serta maju sebagai capres dari dari PD di Pilpres 2004. Kondisi tersebut makin keruh lantaran SBY menang menjadi Presiden RI ke-5.

“Sebagai seorang negarawan dan anak dari salah satu founding fathers (pendiri bangsa—Red), Mega harus keluar dari persoalan-persoalan masa lalu yang membelenggu. Mega juga harus belajar dari kasus Soekarno ketika menyelesaikan masalah politik dengan Sutan Syahrir,” kata Dian.

Dalam survei terkini FFH periode Maret-April 2014, PDIP diprediksi memenangi Pileg 2014. Elektabilitas PDIP berada di kisaran 25 hingga 27 persen. Sedangkan elektabilitas Joko Widodo sebagai calon presiden bertengger di angka 37,4 persen. Survei dilaksanakan 11 Maret hingga 5 April 2014. Jumlah sampel 1090. Margin of Error ± 2,98. Level of Confidence 95 persen. Responden adalah calon pemilih, berumur 17 tahun atau belum berumur 17 tahun tapi sudah menikah, serta bukan TNI/Polri aktif. Survei dilaksanakan di 34 provinsi. FFH termasuk salah satu dari 56 lembaga survei yang terdaftar di KPU.

Menurut Dian, elektabilitas Jokowi belum sefenomenal SBY pada Pemilu 2004 dan 2009. Apabila PDIP tidak membangun koalisi dari awal maka dapat dibayangkan polarisasi di DPR. PDIP tentu akan kesulitan menjinakkan partai lainnya dalam melakukan lobi-lobi politik. Imbasnya, pemerintahan kuat dan stabil yang diinginkan oleh PDI Perjuangan akan jauh dari harapan. (jo-10)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.