Daya Saing UMKM Indonesia Paling Rendah, Ini Enam Solusi Tulus Tambunan

Tulus Tambunan
JAKARTA, JO - Walaupun sudah cukup banyak program pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang untuk mendukung perkembangan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di Tanah Air, namun kinerja UMKM dan kondisinya secara umum masih jauh dari yang diharapkan.

Bahkan hasil dari sebuah penelitian APEC menunjukkan bahwa daya saing UMKM Indonesia paling rendah dibandingkan UMKM di sejumlah ekonomi APEC lainnya yang diteliti. Ini menimbulkan keraguan mengenai kemampuan UMKM Indonesia untuk mampu bersaing di pasar regional (misalnya ASEAN atau APEC) atau dunia, atau bahkan untuk bisa mempertahankan pangsa pasar domestik dengan semakin dasyatnya barang-barang impor membanjiri pasar dalam negeri.

Diantara program dan kebijakan untuk membantu UMKM mulai dari berbagai skim kredit bersubsidi mulai dari KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) pada dekade 1970-an hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang diperkenalkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Namun banyak studi maupun data nasional yang ada menunjukkan bahwa kinerja UMKM di Indonesia masih relatif buruk bukan saja dibandingkan dengan usaha besar, tetapi juga dibandingkan dengan UMKM di di Indonesia," kata Tulus TH Tambunan dari Pusat Studi Industri dan UKM, Fakultas Ekonomi, Universitas Trisaksi kepada JakartaObserver.com di sela-sela sebuah diskusi mengenai UMKM di Jakarta, belum lama ini.

Dikatakan, menurut data dari Menegkop dan UKM dan Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1997 ada sekitar 39,7 juta UMK, dengan nilai penjualan rata-rata per tahun kurang dari Rp1 miliar per unit, atau sekitar 99,8 persen dari total unit usaha pada tahun itu. Pada tahun 2000, saat ekonomi Indonesia sudah mulai pulih dari krisis ekonomi 1997/98 tersebut, tercatat ada sekitar 39,7 juta UMK, atau 99,85 persen dari jumlah perusahaan dari semua skala usaha di Indonesia. Pada tahun 2012 jumlah populasi UMKM mencapai sekitar hampir 56,5 juta unit.

"Pertanyaan kita, mampukah kelompok usaha tersebut bersaing atau bahkan bertahan terhadap semakin gencarnya barang-barang impor yang masuk ke pasar domestik? Mampukah UMKM Indonesia memanfaatkan peluang yang muncul dari diberlakukannya CAFTA dan nanti pada tahun 2015 ME-ASEAN, yakni kesempatan memperluas pasar ekspor?" tanya Tulus.

Pria kelahiran Jakarta 6 Mei 1958 dan master dan PhD dalam bidang ekonomi di Erasmus University, Belanda ini, memberikan solusinya bagi pemerintah khususnya pemerindah daerah, diantaranya perlunya pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMKM yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi.

"Khususnya Unit Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan yang baru," kata dia.

Kemudian pembangunan infrastruktur baik fisik maupun non-fisik mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi. Dalam bentuk non-fisik seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan, litbang/lab.

Berikut adalah enam solusi yang disampaikan Tulus Tambunan:

  1. Pembangunan infrastruktur baik fisik (seperti jalan raya, listrik dan fasilitas komunikasi, dan pelabuhan) dan non-fisik (seperti bank/lembaga pendanaan, pusat informasi, lembaga pendidikan/pelatihan, litbang/lab), mulai di tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga di tingkat provinsi.
  2. Pemberdayaan kembali semua sentra-sentra UMKM yang sempat dikembangkan dengan dukungan pemerintah pada era Orde Baru, namun terlantarkan sejak mulainya era reformasi. Khususnya Unit Pelayanan Teknis (UPT) di sentra-sentra yang ada perlu diremajakan dengan antara lain menggantikan mesin-mesin dan alat-alat pengujian/lab yang sudah usang dengan yang baru.
  3. Walaupun bantuan pendanaan memang penting, namun sudah saatnya penekanan dari kebijakan atau program-program pemerintah untuk membantu perkembangan UMKM lebih pada peningkatan pendidikan pengusaha dan pekerja, pengembangan teknologi, dan peningkatan kemampuan inovasi. Selain itu, UMKM baik yang hanya melayani pasar domestik maupun yang menjual produk-produknya ke pasar luar negeri perlu dibantu sepenuhnya (misalnya dengan penyediaan lab untuk pengujian kualitas barang) agar bisa mendapatkan label Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) untuk meningkatkan kualitas produk dan berarti juga daya saing UMKM.Untuk maksud ini, perlu adanya intensif agar terjalin kerjasama yang erat antara UMKM setempat dengan perguruan tinggi, lembaga pendidikan/pelatihan dan litbang setempat sehingga terjadi peralihan teknologi dan pengetahuan ke UMKM.
  4. Perlu diupayakan peningkatan keterkaitan produksi lewat misalnya subcontracting antara UMKM dan usaha besar, termasuk PMA. Berdasarkan faka bahwa sulit mendapatkan UMKM lokal yang siap sebagai pemasok bagi usaha besar/PMA karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan, maka untuk mencapai tujuan ini, pemerintah bersama-sama dengan pihak swasta seperti Kadin, asosiasi bisnis, himpunan pengusaha, dan universitas harus sepenuhnya membantu UMKM dalam meningkatkan kemampuan mereka sebagai pemasok yang kompetitif dan efisien bagi usaha besar/PMA.
  5. Dalam mengembangkan enam koridor ekonomi, pengembangan UMKM lokal di enam wilayah tersebut untuk menjadi UMKM berdaya saing tinggi, baik sebagai pelaku usaha yang mandiri maupun sebagai pemasok usaha besar, harus menjadi salah satu komponen penting dari kebijakan pengembangan enam koridor tersebut.
  6. Perlu diupayakan agar semua UMKM di manapun lokasinya mendapatkan akses sepenuhnya ke informasi mengenai pasar dan lainnya, teknologi, pendidikan/pelatihan, fasilitas perdagangan, dan perbankan; tentu dengan tidak menghilangan penilaian obyektif mengenai kelayakan usaha dari UMKM bersangkutan. (jo-4)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.