Kehadiran Negara Penting untuk Pastikan Hak Ekonomi Pencipta Dipenuhi

JAKARTA, Jakartaobserver.com- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menekankan bahwa usulan skema royalti dalam proses revisi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, mengandung konsekuensi bahwa negara harus mengambil peran strategis. Sebab menurutnya, tanpa dukungan negara, mekanisme perlindungan tidak akan berjalan optimal.
 
“Tidak terdaftar pun menjadi kewajiban negara. Jadi hak ekonomi itu kewajiban negara. Negara harus hadir. Kalau kita bangun sendiri-sendiri, tidak akan ketemu. Negaranya harus ada,” tegasnya Bob saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Baleg bersama Garda Publik Pencipta Lagu (Garputala), Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI), dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Gedung Nusantara I DPR RI, Selasa (2/12/2025).

Menurut Bob, skema royalti tidak sepenuhnya bergantung pada pemberian surat kuasa oleh pencipta kepada lembaga pengelola. “Tidak perlu pakai kuasa, tapi pencipta harus dapat hak. Sepanjang dia warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia, dia wajib dapat hak ekonominya,” tegasnya.

Bob memberi ilustrasi bahwa lembaga pengelola royalti (collecting) seharusnya proaktif mengidentifikasi pencipta karya, meskipun pencipta tersebut belum terdaftar atau belum memberikan kuasa. “Ketika lembaga collecting melihat ini lagu siapa, mereka yang harus cari. Walaupun tidak memberikan kuasa, tetap wajib memberikan hak ekonominya kepada pencipta,” tambahnya.

Ia menegaskan bahwa skema seperti itu menuntut kehadiran negara sebagai regulator dan pengawas utama agar hak ekonomi pencipta dapat dipenuhi secara adil.

Dalam rapat tersebut, Bob menyoroti sejumlah masukan dari pihak-pihak yang hadir, diantaranya seperti masukan dari Asosiasi Konsultan HaKI mengenai penanganan sengketa dengan merujuk pada kata Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Teman-teman HKI menyatakan petun (PTUN) . Petun itu identik overheidsdaad. Itu tempatnya. Di luar itu tidak ada lagi,” jelas Bob. Ia menambahkan bahwa pengadilan umum tetap menangani perkara perdata, sementara aspek pidana dalam pelanggaran hak cipta juga memungkinkan karena perkembangan praktik di lapangan.

Bob mengapresiasi atas pandangan yang disampaikan ketiga narasumber. Ia menilai bahwa pandangan tersebut itu saling melengkapi, baik dari aspek perlindungan pencipta, perspektif hukum kekayaan intelektual, maupun sudut pandang pengguna seperti PHRI.

“Pada intinya, dari tiga narasumber hari ini kelihatannya sangat nyambung. Pandangan konvensional dan moderat dari Garputala dilengkapi oleh AKI, dan kebutuhan pengguna seperti PHRI juga terpenuhi,” ujar Bob. (jo3)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.