Pancasila Jadi Benteng Ideologi Asing di Era Digital

Foto: Sosialisasi Empat Pilar MPR di Candi Joglo, Jalan Pemuda Sukoharjo, Sukoharjo, Krangganharjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (16/9/2025) pagi.

SUKOHARJO, Jakartaobserver.com- Dalam era digital saat ini arus informasi dan nilai-nilai dari berbagai negara mengalir sangat cepat tanpa batas. Hal ini membawa dampak positif berupa kemajuan pengetahuan, keterbukaan, dan kolaborasi global, tetapi juga menimbulkan tantangan serius dengan masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak sesuai jatidiri bangsa Indonesia.
 
Karena itu, dalam era ini Pancasila menjadi benteng ideologis sekaligus kompas moral bagi bangsa Indonesia, dan memastikan bahwa kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi tetap sejalan dengan nilai-nilai keindonesiaan—menjaga harmoni, kemanusiaan, dan keadilan sosial di tengah dunia yang semakin kompleks.

” Pancasila menjadi benteng ideologis sekaligus kompas moral bagi bangsa Indonesia, sekaligus sebagai filter terhadap pengaruh tersebut,” kata anggota DPR/MPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc dalam sosialisasi Empat Pilar MPR di Candi Joglo, Jalan Pemuda Sukoharjo, Sukoharjo, Krangganharjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Selasa (16/9/2025) pagi.

Berikut beberapa contoh ideologi asing yang dapat memengaruhi generasi muda Indonesia seperti individualisme dan materialisme yang mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Jika masyarakat kita, kata Evita, terlalu terpengaruh oleh pemikiran ini, maka rasa gotong royong dan kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia bisa luntur.

Kemudian liberalisme ekstrem atau kebebasan tanpa batas misalnya dengan menganggap kebebasan mutlak sebagai simbol kemajuan dan menganggap norma agama atau budya sebagai hal yang kuno. Begitu juga dengan radikalisme dan ekstrimisme, yang menolak dasar negara Pancasila dan menganggap kelompok lain sebagai musuh, dorongan untuk mendirikan negara agama atau menolak pemerintah yang sah, atau paham komunisme yang tidak sejalan dengan nilai-nilai demokrasi Pancasila.
 
Dalam hal ini, menurut Evita Nursanty, Pancasila berfungsi sebagai penyaring atau filter terhadap pengaruh tersebut, agar masyarakat dapat mengambil hal-hal positif dari luar tanpa kehilangan kepribadian nasional. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan menjadi pedoman dalam menilai apakah suatu ide atau tren sesuai dengan semangat kebangsaan Indonesia.

Pancasila juga menegaskan arah dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah derasnya arus global, Pancasila menjadi pedoman untuk menjaga keutuhan NKRI dan menghindarkan masyarakat dari disintegrasi akibat perbedaan ideologi, suku, agama, atau kepentingan politik.

”Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang hidup dan diamalkan, Indonesia tetap memiliki arah pembangunan yang berpihak pada nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, bukan hanya kepentingan ekonomi atau kekuasaan,” sambung Evita.

Perkembangan teknologi digital (internet, media sosial, AI) membuat interaksi masyarakat semakin terbuka, tetapi juga menimbulkan masalah seperti ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi sosial. Dalam hal ini, ucap Evita, Pancasila memberikan landasan moral dan etika digital dalam tata pergaulan. Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila sejak dini—melalui pendidikan, kebijakan publik, dan budaya digital—bangsa Indonesia dapat membangun ketahanan ideologis.

Artinya, meskipun dunia berubah cepat, masyarakat tetap berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa, tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh luar, dan mampu beradaptasi tanpa kehilangan identitas nasional. (jo3)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.