Bhinneka Tunggal Ika Warisan Sejarah Sarat Nilai-nilai Mulia Wujudkan Indonesia Damai

Foto: Sosialisasi Empat Pilar MPR di Grand Master Purwodadi, Jalan Gajah Mada No 10, Majenang, Kuripan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (30/7/2025).

PURWODADI, Jakartaobserver.com- Bhinneka Tunggal Ika adalah warisan sejarah yang sarat nilai-nilai mulia yang bisa kita teladani bersama dengan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan negara yang menjadi navigator bahwa bangsa Indonesia beragam, tetapi tetap satu dalam bingkai NKRI.
 
“Karena itu sebagai bangsa yang beragam yang bersatu dalam bingkai NKRI, semboyan Bhinneka Tunggal Ika perlu menjadi kesadaran kita bersama dalam rangka mewujudkan Indonesia yang saling menghargai dan hidup dalam perdamaian,” kata anggota DPR/MPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc saat melakukan Sosialisasi Empat Pilar MPR di Grand Master Purwodadi, Jalan Gajah Mada No 10, Majenang, Kuripan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Rabu (30/7/2025).

Anggota DPR/MPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah III meliputi Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang dan Blora ini kemudian mengingatkan, persoalan buruk sejak reformasi adalah lemahnya nilai-nilai kewargaan.

Perbedaan seringkali dianggap sebagai kendala, tidak diakui, apalagi dihormati. Akibatnya toleransi yang memungkinkan masyarakat majemuk hidup bersama dalam ruang publik masih menjadi persoalan mendasar bangsa ini. Sikap-sikap intoleran yang berwujud dalam berbagai konflik dan kekerasan sosial, terus menyobek rajutan perjuangan para pendiri bangsa, yang termanifestasi dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika.

Dikatakan, salah satu ekspresi rasa cinta terhadap tanah air adalah mencintai produk-produk yang lahir dari pergulatan anak negeri sendiri, dan karena lahir dari kultur yang berbeda-beda maka menjadi bagian dari aktualisasi nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, implementasi Bhinneka Tunggal Ika adalah bagaimana kita hidup berdampingan secara harmonis dalam keberagaman suku, agama, budaya, dan pandangan dengan tetap menjunjung persatuan Indonesia.

Beberapa contohnya adalah menghargai perbedaan agama dan keyakinan, toleransi dalam budaya dan tradisi seperti menghargai adat istiadat dan kebiasaan daerah lain, meskipun berbeda dengan budaya sendiri, dan ikut mendukung acara kebudayaan tanpa melihat asal suku. Selanjutnya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Walau setiap daerah punya bahasa daerah, tetap memakai bahasa Indonesia dalam komunikasi antar suku agar saling memahami.

”Bentuk lainnya adalah giat melakukan kerja sama di lingkungan sosial, misalnya gotong royong membersihkan lingkungan, meski warganya berasal dari suku dan agama berbeda, saling membantu ketika ada musibah tanpa membedakan latar belakang,” sambung Evita.

Kemudian bersikap adil dan tidak diskriminatif, tidak membeda-bedakan teman atau rekan kerja berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan, serta memberi kesempatan yang sama dalam pendidikan maupun pekerjaan. Tak kalah penting juga adalah menghargai pendapat dan perbedaan pandangan dalam diskusi, menerima perbedaan pendapat dengan bijak. Menghindari konflik hanya karena berbeda pilihan politik atau pandangan hidup.

Apalagi dalam era digital ini, maraknya penggunaan media sosial maupun media digital membuat keterbelahan diantara masyarakat, sehingga dibutuhkan upaya bersama untuk menjaga persatuan di dunia maya, tidak menyebarkan ujaran kebencian atau hoaks yang memecah belah, dan t menyebarkan konten positif tentang toleransi dan persatuan.

”Ke-bhinneka-an ini harus dijadikan sebagai sumber kesejahteraan bersama. Mencintai produk-produk pangan dan hortikultura dalam negeri, misalnya, merupakan nasionalisme nyata yang lahir dari rasa cinta terhadap bangsa dan negara,” ucap Evita lagi. (jo3)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.