Dr Evita Nursanty, MSc saat melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR yang diikuti oleh masyarakat Grobogan dan berlangsung di Hotel 21 Purwodadi, Jajar, Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu (24/11/2024) pagi.

PURWODADI, Jakartaobserver.com- Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati, yang kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
 
Namun disadari bahwa ketidakmampuan untuk mengelola kemajemukan dan ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kemajemukan tersebut serta pengaruh berkelanjutan politik kolonial devide et impera telah mengakibatkan terjadinya berbagai gejolak yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

"Dalam sejarah perjalanan negara Indonesia telah terjadi pergolakan dan pemberontakan sebagai akibat dari ketidaksiapan masyarakat dalam menghormati perbedaan pendapat dan menerima kemajemukan, penyalahgunaan kekuasaan serta tidak terselesaikannya perbedaan pendapat di antara pemimpin bangsa," kata anggota DPR/MPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc.

Hal itu disampaikan saat melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR yang diikuti oleh masyarakat Grobogan dan berlangsung di Hotel 21 Purwodadi, Jalan MT Haryono Jalan Jajar Barat No 137, Jajar, Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Minggu (24/11/2024) pagi.

Dikatakan, globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, diperlukan adanya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bekerja sama serta berdaya saing untuk memperoleh manfaat positif dari globalisasi dengan tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan nasional.

Menurut Evita Nursanty, setiap bangsa harus memiliki suatu konsepsi dan konsensus bersama menyangkut hal-hal fundamental bagi keberlangsungan, keutuhan dan kejayaan bangsa yang bersangkutan.

Dalam pidato di PBB, pada 30 September 1960, yang memperkenalkan Pancasila kepada dunia, Presiden Soekarno mengingatkan pentingnya konsepsi dan cita-cita bagi suatu bangsa: “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya”.

Konsepsi pokok yang melandasi semua hal itu adalah semangat gotong royong. Bung Karno mengatakan, “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama! ltulah gotong royong.”

"Dengan semangat gotong royong itu, konsepsi tentang dasar negara dirumuskan dengan merangkum lima prinsip utama (sila) yang menyatukan dan menjadi haluan ke indonesiaan, yang dikenal sebagai Pancasila," ucap Evita lagi. (jo3)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.