Korban Mafia Tanah Laporkan Ketua Pengadilan dan Jurusita ke Komnas HAM

Korban mafia tanah melapor ke Komnas HAM.

JAKARTA, Jakartaobserver.com- Tumini Ali, SH korban mafia tanah didampingi kuasa hukumnya Ir Andi Darti, SH, MH mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jumat (19/11/2021) pagi di Jalan Latuharhary Menteng, Jakarta Pusat untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Bekasi Bongbongan Silaban, SH LLM, dan juru sita Pengadilan Negeri Bekasi Haryanto SKOM, SH.
 
Keduanya dilaporkan karena telah mengeksekusi lahan seluas 200 meter persegi dan menghancurkan tiga unit bangunan toko di jalan Bagol nomor 34 RT 004/005, Jati Luhur, Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat.
Menurut Ir Andi Darti, SH, MH pihaknya meminta Komnas HAM melakukan pemantauan atas dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa eksekusi lahan bangunan toko milik kliennya Tumini Ali pada Kamis, 11 November 2021.
 
"Kami menyampaikan kepada Komnas HAM pada tanggal 03 November 2021, bahwa anaknya Umi Oktovia Lia Kartini menerima surat dari Pengadilan Negeri Bekasi perihal pelaksanaan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri Bekasi No. 169/Pdt.G/2015 pin.Bks Jo.no.93/Pdt/2017 PT.Bdg Jo.no. 1793k/Pdt/2018 yang dialamatkan yakni termohon eksekusi II bernama Umi Oktovia Lia Kartini", terang Andi Darti kepada wartawan.
 
Andi Darti mengatakan, kliennya sangat menghormati putusan Pengadilan Negeri Bekasi selama putusan itu benar dan didasarkan bukti yang benar. Bukti-bukti yang diajukan Yohannes Cornelis K, dalam perkara No.1693 k/Pdt/2018 adalah bukti palsu. Perihal bukti tersebut palsu sesuai dengan surat dari Direktorat Jenderal (Dirjen) pajak dan berdasarkan LP dari Polres Bekasi kota pelaksanaan eksekusi ditunda.
 
"Hariyanto melakukan pengecekan di lokasi 10 November 2021 dan menandai batas-batas dengan cat semprot namun batas tersebut tidak sesuai dengan penetapan Sita. Sementara lokasi objek jual beli antara Yohannes Cornelis dengan Surya Kencana berlokasi Jalan Bagol No75 RT 004/005 sedangkan alamat objek lokasi yang akan dieksekusi berada di Jalan Bagol No34 RT 004/005," katanya.
 
Selaku kuasa hukum Tumini Ali dan Umi Oktovia Lia Kartini, bahwa kasus ini diotaki oleh sejumlah mafia tanah yang mengalihkan hak atas tanah atau bangunan dari pemilik asli dengan cara pura-pura menggugat pemilik asal yakni Surya Kencana, padahal yang sebenarnya adalah Yohannes Cornelis bekerjasama dengan Surya Kencana menggugat tanah atau bangunan kliennya yang nyata dan jelas sudah punya sertifikat.
 
"Kami meminta Komnas HAM melakukan pemantauan atas dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa eksekusi lahan bangunan toko milik kliennya Tumini Ali, kamis 11 November 2021."
 
Tidak hanya itu, Yohannes Cornelis dan istrinya juga menggunakan jasa preman untuk menguasai objek tanah dengan cara memagar dan mendirikan bangunan diatasnya kemudian melakukan gugatan yang menimbulkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang isi putusannya didasarkan pada dua lembar surat palsu kemudian putusan dengan "Amar" yang menyebutkan dua surat palsu tersebut oleh Yohannes Cornel dan pengacaranya.
 
Pura pura membuat skenario

Andi Darti mengatakan berawal dari pura pura atau sandiwara saja, Yohannes Cornelis dan istrinya bersama Surya Kencana membuat skenario bahwa Surya Kencana telah meminjam sejumlah uang untuk usaha ayam sebesar Rp 160.000.000 kapada Yohannes Cornelis dan Surya tidak sanggup mengembalikan hutangnya. 

Karena itu dibuatlah kesempatan bahwa hutang Surya Kencana tersebut dikonversi dengan tanah seharga Rp 800.000 per meter, jadi dengan hutang tersebut Yohannes Cornelis mendapatkan tanah seluas 200 meter persegi dan bidang tanah yang ditunjuk sesuai kwitansi yang tertera dalam "Amar" putusan PN Bekasi terletak di Jalan Bagol No 75 RT 004/005.
 
Jadi disini, Yohannes Cornelis bersama istrinya Rosmawati Siregar, Surya Kencana dan pengacaranya mengklaim hak Umi Oktovia Lia Kartini selaku pihak yang telah menduduki tanah dan bangunan telah mengubah atau menggeser dan menghilangkan patok tanda batas tanah dan fakta rekayasa itu pula yang dituangkan dalam gugatan.
 
Lanjut Andi Darti, sebagian bidang tanah yang dieksekusi milik Tumini Ali dan saat ini sedang dilakukan upaya hukum perlawanan dalam perkara No. 557/Pdt. Bth/2021/PN Bks sesuai register tertanggal 10 November 2021, namun KPN Bekasi tidak menggubris.
 
KPN Bekasi mau menghentikan eksekusi asalkan termohon Tumini Ali dan Umi Oktovia Lia Kartini bersedia membayar uang sebesar Rp 400.000.000.
 
Anehnya lagi, ujar Andi Darti, bahwa saat itu KPN Bekasi meminta Tumini Ali dan Andi Darti selaku kuasa hukumnya untuk keluar dari ruangan karena ingin berdiskusi dengan Yohannes Corneli dan setelah itu KPN Bekasi menyampaikan bahwa KPN Bekasi bersedia menghentikan eksekusi asal Tumini Ali dan Umi Oktovia Lia Kartini selaku termohon eksekusi II bersedia membayar uang sebesar Rp 400.000.000 kepada Yohannes Cornel.

Haryanto jurusita PN Bekasi menanggapinya bahwa pemberitahuan kepada termohon eksekusi tentang hari pelaksanaan eksekusi adalah surat dari pengadilan negeri (PN) Bekasi, dan yang mengeksekusi bangunan adalah jurusita PN Bekasi, dan aparat keamanan dengan tupoksi keamanan dan porter. 

"Kami juga informasikan, masih ada bangunan pilar didepan rumah termohon eksekusi yang akan dieksekusi lanjutan sesuai putusan seluas 10 x 20 meter, karena sudah diberikan waktu kepada termohon eksekusi untuk membongkarnya sendiri, dan jika tidak dilakukan pembongkaran sendiri maka akan dilaksakan oleh jurusita PN Bekasi," ucapnya.
 
Sementara laporan polisi untuk pidana dipersilahkan karena setiap warga negara, pelaksanaan eksekusinya adalah putusan perdata, dan dalam penetapan eksekusi ketua PN Bekasi tentang pengosongan tidak ada penundaan eksekusi karena laporan pidana. Sedangkan mengenai bukti dan saksi dari para pihak sudah diajukan dalam persidangan.
 
"Eksekusi adalah upaya paksa untuk melaksanakan isi putusan, mohon dipahami dulu tentang isi putusannya, bapak ketua PN Bekasi sudah sangat mengedepankan azas kemanusiaan sehingga dicarikan solusi untuk kedua belah pihak," ungkapnya. 

Angka Rp400.000.000 adalah angka yang diajukan oleh pemohon eksekusi untuk nilai ganti kerugian tanah 10 x 20 meter, dengan asumsi harga jual 2.000.000 per meter, sehingga disampaikan kepada termohon eksekusi, atas tanggapan tersebut termohon eksekusi meminta agar pemohon eksekusi membayar Rp 750.000.000. 

"Karena tidak ketemu titik solusi perdamaian antra para pihak, sehingga putusan pengosongan harus dilaksanakan," sambungnya.
 
Sambung Haryanto, boleh diperhatikan juga ada putusan yang harus dijalankan oleh termohon eksekusi untuk membayar dwangsom sebesar Rp 500.000 per hari dari putusan inkraht.
 
"Jadi masih ada kewajiban termohon eksekusi yang belum dipenuhi yaitu uang dwangsom, dan sisa bangunan yang terdapat bangunan pilar yang diberi kesempatan akan dibongkar sendiri, jika tidak dibongkar akan diadakan eksekusj lanjutan oleh pengadilan," tandasnya.

Sementara itu jurusita Haryanto saat dihubungi mengatakan silakan saja dibuktikan mengenai adanya dugaan surat palsu. "Silahkan dibuktikan saja soal itu," kata Haryanto. (jo6/jo19)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.