Tragedy of The Common di Indonesia, Studi Kasus Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara

I Wayan Gede Krisna Arimijaya (kiri) dan Taqyuddin (kanan)

Oleh I Wayan Gede Krisna Arimjaya1,2 dan Taqyuddin1 
1 Magister Ilmu Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia 
2 Badan Informasi Geospasial 
E-mail: i.wayan09@ui.ac.id, taqygeo@gmail.com 

Tragedy of The Common, Mengapa Bisa Terjadi?

Dalam teori “tragedy of the common” , bencana yang terjadi berasal dari kondisi yang tidak terhindarkan karena berasal dari kebutuhan bersama. Hardin (1968) memberikan contoh seorang penggembala ternak yang dengan senang hati selalu menambahkan jumlah ternaknya untuk meningkatkan hasil ternak pada padang rumput yang dimiliki bersama penggembala yang lain. Suatu saat padang rumput yang terbatas tidak dapat menampung kebutuhan semua ternak gembala sehingga menimbulkan tragedi. Kondisi yang sama juga dapat terjadi pada manusia. Konsekuensi logis dari peningkatan jumlah penduduk di muka bumi adalah ikut meningkatnya kebutuhan sumber daya yang digunakan untuk tujuan beraktivitas (Hardin, 1968). Catatan untuk teori Hardin, Tragedy of the common umumnya terjadi pada natural resources, karena sifat konsumsinya rival namun exclusive. Pemenuhan kebutuhan tidak selalu menimbukan tragedy of the common, bila asumsi-asumsinya terpenuhi.
 
Dalam teori Malthus (Ali, 2018; Weir, 1991), pertumbuhan penduduk berlangsung secara alami dan bersifat eksponensial, sementara pertumbuhan sumber daya bersifat linear (lihat Gambar 1). Sumber daya tertentu seperti lahan bersifat terbatas. Reklamasi teluk Jakarta yang dimulai sejak 1995 melalui Keppres No. 52 (1995), hingga isu terkini tentang Jakarta yang akan tenggelam pada tahun 2030 (Lihat Gambar 2), menunjukkan sumber daya lahan memang terbatas dan bahkan berkurang. Sehingga pada akhirnya akan berpotongan pada titik kritis dan terjadi bencana sosial karena kehabisan lahan dan sumber makanan. Malthus meramalkan bahwa Barat akan mengalami kiamat sekitar dua abad kemudian, tetapi ramalan itu tidak terjadi, karena teorinya mengabaikan kemajuan teknologi. Tragedy of the common dalam dunia modern lebih banyak pada persoalan penggunaan lahan non-produksi pangan, seperti enerji, mineral dan jasa-jasa modern.

Berkaca pada dua teori tersebut, maka prinsip kepemilikan bersama dalam “tragedy of the common” berkaitan langsung dengan sumber daya yang dapat diakses umum. Sumber daya yang menjadi kepemilikan bersama di Indonesia tertuang dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Putri (2020) juga menyebutkan bahwa “common” dapat berupa laut, hutan, udara, energi dan lahan.

Tragedi kepemilikan bersama terjadi karena setiap manusia berusaha memanfaatkan sumber daya yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadi hingga merugikan makhluk hidup lainnya (Hardin, 1968; Lubis, 2009). Faktor penyebab terjadinya “tragedy of the common” adalah karena “manusia pada dasarnya adalah makhluk yang rakus” (Thomas Hobbes dalam Brassey, 2009). Brassey (2009) lebih lanjut menjelaskan bahwa keinginan manusia tidak mengenal batas dan tidak pernah terpuaskan. Sementara itu sumber daya yang tersedia di muka bumi ini jelas terbatas. Keinginan yang tak terbatas dihadapkan dengan lingkungan yang terbatas akan menimbulkan “tragedy” atau kejadian yang menyedihkan.
 
Pertumbuhan Penduduk dan Hak Asasi Manusia

Berbeda dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik yang diungkapkan oleh Adam Smith. Bahwa pertumbuhan penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini didasari pemikiran bahwa daerah yang memiliki penduduk lebih banyak akan menimbulkan kebutuhan barang/jasa yang lebih banyak sehingga memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut (Ali, 2018). Teori ini didukung oleh fakta bahwa Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia (56.10%)(lihat Gambar 3) memiliki kontribusi tertinggi (58.75%) pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia (BPS, 2021; kontan.co.id, 2021). Namun disisi lain, jumlah penduduk yang besar, kepadatan penduduk yang tinggi, dan urbanisasi merupakan penyebab terjadinya permasalahan sosial dan lingkungan yang kompleks yang melatar belakangi gagasan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Prahasya et al., 2020; Yusriyah et al., 2020).

Dalam konteks ancaman pertumbuhan penduduk ini, dan sifat alami manusia yang rakus, sesungguhnya manusia memiliki hak-hak hidup yang diakui dan disepakati dunia. Berdasarkan deklarasi universal hak-hak asasi manusia yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 (Komnas HAM, 2021), manusia memiliki hak-hak yang diakui seperti: hak hidup, hak untuk menikah, hak untuk memiliki harta, dan hak untuk meningkatkan taraf hidup, kesehatan dan kesejahteraan. Hak-hak dasar tersebut memberikan ruang untuk memenuhi setiap keinginan manusia. Namun demikian, tentu ada batasan dan aturan yang harus diikuti, sehingga muncullah privatisasi. Hardin (1968), juga memberikan contoh lain terkait “tragedy of the common” dalam konteks privatisasi berupa pengelolaan sebuah taman sebagai fasilitas umum. Apabila taman itu dibuka untuk umum maka semua orang boleh menikmati fasilitas dan rasa nyaman yang diberikan taman itu. Namun jika tidak ada batasan jumlah pengunjung, maka ruang taman yang terbatas tidak akan dapat menampung semua orang yang ingin menikmati kenyamanan taman tersebut. Hasilnya fasilitas umum tersebut menjadi tidak nyaman.  

Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan, yaitu berdasarkan tata aturan yang ketat seperti batasan jumlah pengunjung dan lama waktu berkunjung. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi “tragedy of the common” dan asas keberlanjutan warga. Dengan demikian, hak-hak setiap manusia dalam kepemilikan bersama suatu sumber daya akan selalu bersinggungan dengan hak-hak manusia yang lain karena berada dalam ruang yang terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan pengaturan agar setiap orang dapat memenuhi keinginan atau hak-hak mereka tanpa menimbulkan tragedi atau merugikan hak-hak orang lain.
Rencana Pemindahan Ibu Kota Negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur

Rencana pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur merupakan salah satu bukti terjadinya “tragedy of the common” di Indonesia. Ruang Ibu Kota Negara Jakarta yang terbatas telah menemui batasannya sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks (Yusriyah et al., 2020), bahkan sebagian besar wilayah Jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2030 (Climate Central, 2021). Dalam upaya untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam bentuk pemerataan pembangunan, rencana ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan ekonomi antara Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa (Hasibuan & Aisa, 2020). Namun demikian, tragedi yang terjadi di Jakarta seperti hilangnya keanekaragaman hayati, lalu lintas yang padat, polusi udara, hingga dampak perubahan iklim bisa saja terulang kembali di Ibu Kota yang baru di Kalimantan Timur (Van de Vuurst & Escobar, 2020). Fakta bahwa 18 tahun terakhir, Kalimantan Timur telah kehilangan 1,17 juta ha hutan primer, yang merupakan 34% dari total tutupan pohon yang hilang dalam periode waktu yang sama (Global Forest Watch, 2021) (lihat Gambar 4), memberikan kekhawatiran bahwa deforestasi di Kalimantan Timur akan terus berlanjut dan semakin meluas seiring rencana pemindahan IKN (Greenpeace Indonesia, 2019).
 
Hutan Kalimantan merupakan objek milik bersama karena merupakan paru-paru dunia. Hal ini disampaikan oleh Aurora (2012), bahwa dengan melakukan moratorium konsesi penebangan hutan yang baru, Indonesia telah mengalokasikan 45% dari Pulau Kalimantan untuk tetap sebagai kawasan konservasi dan hutan. Langkah ini merupakan salah satu bentuk kebijakan dan pengaturan pemerintah terhadap objek milik bersama dalam hal ini hutan, dalam bentuk Peraturan Presiden No. 3 (2012) tentang rencana tata ruang Pulau Kalimantan (Lihat Gambar 5). Pengaturan ini seharusnya dapat menjadi pemandu rencana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur agar tetap berada pada jalur yang benar dengan batasan pengembangan yang jelas, sehingga deforestasi dapat terkendalikan.

Menurut Shimamura & Mizunoya (2020), rencana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur akan memberikan dampak positif meski tidak dipungkiri akan terjadi pertukaran modal alam dengan modal produksi. Artinya, degradasi lingkungan akan tetap terjadi untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang merata. Menurut Shimamura & Mizunoya (2020), dampak negatif yang ditimbulkan akan relatif kecil dibandingkan dengan manfaat positif yang akan diperoleh. Namun demikian, kembali diingatkan akan sifat dasar manusia yang serakah. Oleh karena itu, pengaturan yang ketat harus dijalankan berdasarkan pada konsep pembangunan yang jelas.
 
Konsep perencanaan pengembangan Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara yang baru berlandaskan pada prinsip keberlanjutan. Hal ini disampaikan oleh Sibrani Sofian, bahwa kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) di Kalimantan Timur akan mengusung konsep ekologi dan konservasi alami dengan sebutan “Negara Rimba Nusa” (Bahfein, 2020). Konsep ini digadang-gadang berlandaskan pada prinsip keberlanjutan sesuai dengan amanat UU No. 32 (2009) tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Satu lagi peran pemerintah dalam bentuk kebijakan pengelolaan sumber daya milik bersama, bahkan tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Tidak hanya pemerintah, organisasi masyarakat Alam Sehat Lestari (ASRI) telah membuktikan bagaimana kontribusi masyarakat terhadap pelestarian lingkungan hutan menjadi sangat penting. Sebuah klinik kesehatan di Kalimantan Barat menawarkan pelayanan pengobatan dengan membayar menggunakan bibit pohon, telah membantu mengurangi penebangan liar (BBC News Indonesia, 2020). Dilaporkan lebih lanjut bahwa studi terbaru dari Stanford University di Amerika Serikat telah membuktikan bahwa program ini telah berhasil menurunkan 70% deforestasi dari tahun 2009 sampai 2019 (Jones et al., 2020) (lihat Gambar 6). Dari sini dapat dilihat bahwa tidak hanya pemerintah, semua elemen baik masyarakat, organisasi sosial dan akademisi terlibat dalam upaya pengendalian hutan sebagai objek milik bersama.
 
Rencana pemindahan IKN ke Kalimantan Timur harus memiliki program-program perlindungan konservasi yang nyata seperti yang telah dilakukan masyarakat di Kalimantan Barat. Bukan tidak mungkin klinik kesehatan di IKN nanti membuka pelayanan kesehatan dengan menggunakan bibit pohon sebagai alat tukar. Artinya, untuk mencegah terjadinya “tragedy of the common” di IKN yang baru, masyarakat lokal harus dilibatkan secara aktif. Hardin (1968) telah menegaskan bahwa masalah kependudukan tidak dapat diselesaikan dengan solusi teknis, tetapi harus dengan pendekatan moralitas. Negara, dalam hal ini pemerintah harus hadir sebagai jembatan untuk mengakomodir permasalahan yang dihadapi masyarakat secara menyeluruh.
 
Peluang dan Tantangan
 
Isu ancaman degradasi hutan (biodiversitas), sifat tanah di Penajam Paser Utara yang regenerasinya lebih lambat, dan sumber daya air dangkal yang terbatas, merupakan beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam perencanaan pemindahan IKN ke Penajam Paser Utara. Oleh karena itu, diperlukan persediaan air bersih yang cukup untuk mendukung kehidupan kota setidaknya untuk 100 tahun ke depan yang dapat dipenuhi dengan membangun DAM atau sodetan Sungai Mahakam.
 
Khususnya aspek sosial, budaya dan ekonomi, fokus pembangunan IKN harus memperhatikan keberpihakan kepada keberlangsungan kehidupan masyarakat lokal. Hal ini penting, agar masyarakat lokal tidak menjadi terpinggirkan karena pembangunan IKN. Perlu adanya peran serta dan peningkatan komunitas lokal untuk menjaga nilai-nilai penting budaya (local knowledge, local genius, dan local wisdom) yang terbuka terhadap pendatang. Sebagaimana yang tertuang dalam prasasti Mula Warman dimana masyarakat lokal telah terbuka terhadap pendatang dari India, Melayu, dan Jawa sejak abad ke 4. Selain itu juga ada Belanda, Bugis dan Madura sejak abad 19-20, dan hingga sekarang menanamkan adanya nilai-nilai toleransi dan gotong royong. 

Nilai-nilai tersebut jangan sampai vernakular dan tergantikan dengan nilai-nilai budaya yang tidak mengakar. Sedangkan aspek ekonomi, penghidupan masyarakat lokal dengan mata pencaharian primer pada sektor konvensional seperti: nelayan tangkap sungai, rawa, pesisir teluk Balikpapan; petani ladang berpindah/pekarangan; pengolahan hasil hutan non kayu berupa buah-buahan, jamur, herbal/farmasi, aromatik/atsiri; atau biodiversitas fauna, merupakan bioprospecting untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ekonomi lokal yang merupakan sumber penghidupan ini jangan sampai hilang tergusur dengan penghidupan modern, sehingga selalu diupayakan bentuk keberlanjutan sosial ekonomi yang mengakar.
 
Dalam konteks regionalisme, Jakarta sebagai Ibu Kota yang berada di lingkar dalam berpindah ke lingkar luar wilayah Indonesia berpeluang berpengaruh lebih kuat terhadap wilayah negara di sekitarnya seperti: Brunei Darusalam, Sabah dan Serawak. Kesiapan dan ketangguhan negara tetangga perlu penyeimbang. Bisa jadi mereka justru diuntungkan lebih dini dari rencana pemindahan IKN daripada masyarakat Kalimantan Timur itu sendiri. Selain itu, isu Jakarta yang condong merupakan daerah di wilayah Indonesia Barat, telah lama menimbulkan kecemburuan pemerataan pembangunan di Indonesia Timur. Dengan berpindahnya IKN menjadi condong ke wilayah Indonesia timur diharapkan tidak ada lagi ketimpangan pembangunan Indonesia Barat dengan Timur. Namun demikian, kesiapan Indonesia timur juga harus dipersiapkan, terutama Pulau Sulawesi yang dapat berpeluang langsung menjadi pendukung sumber daya manusia, bahan pangan dan material.
 
Yang tidak kalah penting kemudian adalah keberadaan "free rider" (pembonceng gelap) yang tidak terkontrol yang dapat memperparah terjadinya “tragedy of the common” di Jakarta. Orang-orang yang tidak tahu menahu tentang isu keberlanjutan, tidak tahu tentang keterbatasan daya dukung lingkungan atau bahkan orang / badan hukum yang sangat tahu memanfaatkan kondisi ini, dapat memperburuk keadaan yang sudah ada. Itulah mengapa sosialisasi, publikasi, dan pemberitaan terkait isu-isu lingkungan menjadi hal penting yang harus terus di kumandangkan dan disebarluaskan untuk meningkatkan literasi masyarakat tentang hubungan manusia dengan lingkungan dan konsep keberlanjutan.Free rider potensiil terjadi untuk komoditi publik murni dan kuasi (barang publik semu). Dalam mengkosumsinya ada sifat barang privat dan publik. Misalnya padang rumput pengembalaan, terbatas sebagai sifat konsumsinya rival sebagai ciri barang privat, tetapi siapa saja bisa mengakses (non-exclusive) yang ciri barang publik. 

 Kesimpulan

Berdasarkan ulasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 
  1. Permasalahan yang menjadi latar belakang Rencana pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan Timur adalah bentuk dari “tragedy of the common”. Masalah yang sama dapat terjadi kembali di IKN yang baru jika perencanaan tidak dilakukan dengan baik.
  2. Organisasi lingkungan telah membuktikan bahwa dengan mengakomodir kebutuhan masyarakat setempat, “tragedy of the common” dapat dicegah. Program pemberdayaan masyarakat seperti ini dapat diadopsi dengan melibatkan masyarakat lokal Kalimantan Timur dalam perencanaan pemindahan IKN. Hal ini menjadi sangat penting agar konsep “Negara Rimba Nusa” tidak hanya menjadi retorika di atas kertas saja.
  3. Hak-hak asasi manusia ternyata tidak hanya bersinggungan dengan hak-hak asasi orang lain dalam periode waktu yang sama tetapi juga hingga lintas waktu. Oleh karena itu, penerapan konsep berkelanjutan dalam setiap perencanaan dan program-program pembangunan merupakan bentuk perlindungan terhadap sumber daya milik bersama.
  4. Kondisi geografis Kalimantan Timur memberikan peluang dan tantangan tersediri baik dari segi fisik, sosial, ekonomi dan budayanya. Memahami konteks regional dalam perencanaan IKN menjadi kunci optimalisasi perencanaan pemindahan IKN ke Kalimantan Timur.
 
Saran:
  1. Perbedaan dan persamaan tragedy of the common di Jakarta yang sebenarnya sudah terjadi di Jakarta sejak abad 19 (masa akhir kolonialisme di Indonesia), dengan yang terjadi pada abad 20 dan 21 sebagai penajaman tulisan tersebut.
  2. Membandingkan dengan potensi kejadian di calon IKN, khususnya dimensi kependudukannnya sebagai pembahasan. Pada masa kolonial dan sebelumnya bisa saja terjadi pengerusakan oleh penguasa lokal.
  3. Tragedy of the the common di Kalimantan terjadi sejak masa Indonesia sedang giat-giatnya membangun melalui ekploitasi hutan, tambang minyak, tambang batubara. Pelibatan masyarakat lokal untuk mengurangi tragedy of the common di calon IKN dan sekitarnya, untuk seluruh pengelolaan SDA, serta perbaikan keseimbangan kekuasaan terhadap akses barang privat dan publik.
  4. Dukungan bukti-bukti statistik eksplisit tentang dampak tragedy of common di Jakarta dan di IKN yang baru akan lebih mendukung artikel ini.

Daftar Pustaka

  • Ali. (2018). 11 Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Berbagai Pemikiran Ahli | Ekonomi Kelas 11. https://www.ruangguru.com/blog/apa-itu-pertumbuhan-ekonomi-dan-teori-teori-pendukungnya
  • Aurora, L. (2012). Indonesia Sets Aside 45% of Forest-Rich Kalimantan to be World’s Lungs. FORESTS NEWS. https://forestsnews.cifor.org/7144/indonesia-sets-aside-45-of-forest-rich-kalimantan-to-be-worlds-lungs?fnl=en
  • Bahfein, S. (2020). “Nagara Rimba Nusa”, Gabungan Konsep Ruang Terbuka Hijau dan Biru. KOMPAS.com. https://properti.kompas.com/read/2020/11/23/183000421/nagara-rimba-nusa-gabungan-konsep-ruang-terbuka-hijau-dan-biru
  • BBC News Indonesia. (2020). Cerita dari Kalimantan untuk dunia: Penghargaan iklim PBB untuk klinik dengan skema bayar berobat dengan bibit pohon, deforestasi turun 70%. https://www.bbc.com/indonesia/majalah-54709947
  • BKPRN. (2012). Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan - Rencana Pola Ruang. slideshare. https://www.slideshare.net/perencanakota/rencana-tata-ruang-pulau-kalimantan-rencana-pola-ruang
  • BPS. (2021). Hasil Sensus Penduduk 2020. https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk-2020.html
  • Brassey, A. (2009). What Drives Man Toward Greed? In Greed (hal. 94–111). Springer.
  • Climate Central. (2021). Land Projected To Be Below Annual Flood Level In 2030. COASTAL RISK SCREENING TOOL. https://coastal.climatecentral.org/map/11/106.8295/-6.1656/? theme=sea_level_rise&map_type=year&basemap=hybrid&contiguous=true&elevation_model=best_available&forecast_year=2030&pathway=rcp45&percentile=p50&refresh=true&return_level=return_level_1&slr_model
  • Global Forest Watch. (2021). Global Deforestation Rates & Statistics by Country. https://gfw.global/3wRvY5F
  • Greenpeace Indonesia. (2019). Tanggapan Greenpeace Indonesia Terhadap Rencana Pemindahan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur.
  • https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/3652/tanggapan-greenpeace-indonesia-terhadap-rencana-pemindahan-ibu-kota-indonesia-ke-kalimantan-timur/ Hardin, G. (1968). The Tragedy of the Commons. Science, 162(3859), 1243–1248. http://www.jstor.org/stable/1724745
  • Hasibuan, R. R. A., & Aisa, S. (2020). Dampak dan Resiko Perpindahan Ibu Kota Terhadap Ekonomi di Indonesia. AT-TAWASSUTH: Jurnal Ekonomi Islam, 5(1), 183–203. Jones, I. J., MacDonald, A. J., Hopkins, S. R., Lund, A. J., Liu, Z. Y.-C., Fawzi, N. I., Purba, M. P., Fankhauser, K., Chamberlin, A. J., & Nirmala, M. (2020). Improving rural health care reduces illegal logging and conserves carbon in a tropical forest. Proceedings of the National Academy of Sciences, 117(45), 28515–28524.
  • Komnas HAM. (2021). Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi--$R48R63.pdf kontan.co.id. (2021). Pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau ini masih positif di tahun lalu. NEWSSETUP. https://newssetup.kontan.co.id/news/pertumbuhan-ekonomi-di-pulau-pulau-ini-masih-positif-di-tahun-lalu
  • Lubis, M. S. N. (2009). Tragedy of The Common (Kaitannya Dengan Ilmu Management Kelautan). MARINE AND COASTAL MANAGEMENT. http://salehlubis.blogspot.com/2009/02/tragedy-of-common-kaitannya-dgn-ilmu.html
  • Malthusian Theory of Population Growth: Definition & Overview. (2016). https://study.com/academy/lesson/malthusian-theory-of-population-growth-definition-lesson-quiz.html
  • Prahasya, M. B. R., Wijayanto, M. H., & Setyani, T. I. (2020). The Concept of Capital City in Kakawin Nagarakertagama: Cultural Perspective towards the Indonesia Capital City Relocation Master Plan. International Review of Humanities Studies, 5(1).
  • Presiden Republik Indonesia. (1995). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Sekretariat Negara.
  • Presiden Republik Indonesia. (2012). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Sekretariat Negara.
  • Putri, H. S. (2020). “Tragedy of The Commons”: Situasi Berbahaya Bagi Umat Manusia. IMTLI. https://imtli.or.id/2020/09/04/tragedy-of-the-commons-situasi-berbahaya-bagi-umat-manusia/
  • Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sekretariat Negara. Shimamura, T., & Mizunoya, T. (2020). Sustainability prediction model for capital city relocation in Indonesia based on inclusive wealth and system dynamics. Sustainability, 12(10), 4336.
  • Van de Vuurst, P., & Escobar, L. E. (2020). Perspective: Climate Change and the Relocation of Indonesia’s Capital to Borneo. Frontiers in Earth Science, 8, 5. Weir, D. R. (1991). Malthus’s theory of population. In The World of Economics (hal. 401–406). Springer.
  • Yusriyah, K., Sudaryanto, S., Fatoni, A., & Mansyur, M. A. (2020). Communication Networks Analysis On Information Dissemination Of The Moving Of Capital City From Jakarta To East Kalimantan. Aspiration Journal, 1(1), 31–55.
 
Profil Penulis

I Wayan Gede Krisna Arimjaya, ST. adalah mahasiswa tingkat 2 di Program Magister Ilmu Geografi, Universitas Indonesia. Ia menyelesaikan program sarjana di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2009. Tahun 2009-2014 pernah bekerja sebagai surveyor tambang di PT. Pamapersada Nusantara, Site Kideco Jaya Agung, Batu Kajang, Kalimantan Timur. Sejak tahun 2014 hingga saat ini, ia bekerja di Bidang Pemetaan Rupabumi Skala Kecil Menengah, Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim, Badan Informasi Geospasial. Bidang yang diminatinya adalah pemanfaatan teknologi SIG dan Penginderaan Jauh untuk evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah, terutama yang terkait dengan isu keberlanjutan.
 
Dr Taqyuddin,, S.Si., M.Hum. lahir di Semarang pada tanggal 28 Maret 1966, merupakan salah satu dosen di Jurusan Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Meraih gelar Sarjana Geografi di sana pada tahun 1993 dan memperoleh gelar Magister Arkeologi dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia pada tahun 2004. Dan 2017 menyelesaikan program doctoral Arkeologi di Fakultas yang sama. Keterlibatan dalam pengurus organisasi profesional, Perhimpunan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Perhimpunan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) dan Komunitas Onomastika Indonesia (Kotisia) dan anggota Ikatan Geografi Indonesia (IGI), selain menjadi anggota Mapala UI (ML-372).


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.