Fintech, Big Data, dan Tantangan Kolaborasi Lintas-Negara dalam Pengaturan Regulasi
Ilustrasi |
Oleh Josephine Joy Nusantari
Teknologi muncul menjadi medan pertempuran untuk persaingan internasional dan geopolitik. Negara-negara berjuang untuk hegemoni atas teknologi baru, terutama yang berkaitan dengan jaringan digital dan artificial intelligence (AI). Perusahaan-perusahaan internet dan teknologi dalam sektor finansial mau tidak mau akan terseret ke dalam konflik-konflik yang berpusat pada standar industri internasional untuk teknologi baru. Tidak hanya itu, hal ini mendatangkan potensi kejahatan finansial baru yang menghantui pengguna aplikasi layanan fintech di seluruh dunia.
Pandemi telah memaksa individu dan UMKM untuk beralih ke solusi fintech mulai dari kredit mikro hingga platform investasi alternatif, didorong oleh meningkatnya ketergantungan pada layanan digital tersebut. Banyak bisnis harus beradaptasi dengan beralih ke work from home (WfH) sehingga seringkali membutuhkan perbaikan pada sistem teknologi informasi mereka. Kenyataan ini telah mempercepat digitalisasi data bisnis, yang membawa risiko seputar keamanan data dan validasi data. Di sisi lain, dengan big data dan AI memungkinkan adanya output data yang bersifat diagnostik, prediktif, dan preskriptif yang mampu menghasilkan otomasi indikasi kerentanan awal. Dengan dukungan pemanfaatan teknologi, diharapkan pengawasan perbankan maupun sektor jasa keuangan lainnya, akan semakin efektif dan efisien sehingga bisa memperkuat industri jasa keuangan yang kuat, stabil, dan berdaya saing tinggi.
Pergeseran besar-besaran ke layanan keuangan online saat konsumen beradaptasi dengan pandemi nampak tidak mungkin dihentikan karena kini ekonomi dan negara sudah terbuka kembali. Terdapat kemungkinan kecil konsumen akan berhenti atau meninggalkan pembayaran digital, investasi, dan kebiasaan finansial yang baru. Hal ini juga akan terus berkembang di antara lembaga keuangan mapan dan startup-startup fintech dengan adanya peningkatan pengguna digital yang signifikan. Kemajuan dibuktikan telah tercapai dalam digitalisasi Know Your Customer (KYC), Anti-Money Laundering (AML), dan proses identifikasi klien lainnya, sedemikian rupa sehingga verifikasi pelanggan baru sekarang dapat dilakukan dari jarak jauh.
Big data menjadi penting dalam AML maupun KYC karena membuat perusahaan Fintech dapat melakukan penilaian risiko secara real time tepat saat pengguna membuat akun mereka. Dengan mengubah apa yang dulunya merupakan tugas manual dan memungkinkan otomatisasi manajemen risiko dan pelaporan tingkat lanjut. Sangat mungkin terjadi ledakan data konsumen, relevansi data non-keuangan terhadap pengambilan keputusan seputar status keuangan individu atau bisnis dan kerangka berbagi data yang menyertainya, berarti lembaga keuangan dan fintech harus memiliki alat terbaik untuk mengelola data. Saat ekonomi menerapkan peraturan dan pedoman seputar tata kelola data, khususnya seputar klasifikasi, agregasi, dan penggunaan data konsumen, fintech dapat memberikan layanan dalam pelaporan peraturan, manajemen data, dan memastikan privasi.
Kerangka berbagi data membutuhkan kolaborasi antara lembaga keuangan besar, yang bisa dilihat di beberapa ekonomi ASEAN. Fintech dapat berkontribusi terhadap stabilitas sistem tersebut dengan memainkan peran penting dalam pemberdayaan konsumen, terutama dalam ekonomi digital berbasis data dan kaya data di mana terdapat jumlah pilihan dan produk keuangan yang belum pernah ada sebelumnya. Operasi KYC dapat membantu penyedia layanan keuangan, baik itu fintech atau pemain lama, menerapkan praktik pinjaman yang bertanggung jawab dengan lebih baik, dan juga memberdayakan konsumen dengan data mereka sendiri. Otoritas Moneter Singapura menyebutkan bahwa Paylater dapat meningkatkan risiko pengeluaran berlebih.
Sistem KYC dalam kasus seperti itu karenanya dapat memberi tahu konsumen secara langsung untuk meningkatkan pengambilan keputusan mereka (UOB, 2021). Hanya saja, hal ini bisa menjadi pisau bermata dua dimana perkembangan dan kemudahan yang diberikan tidak dibarengi dengan edukasi finansial yang mumpuni di kalangan masyarakat. Dalam ekonomi digital, harus dipastikan regulator memiliki kemampuan untuk mengawasi ekosistem dengan menjaga kecepatan dan memberdayakan konsumen dengan pengetahuan.
Di sisi lain, ekonomi global yang semakin terintegrasi membutuhkan peningkatan kolaborasi antara penegakan hukum lintas-batas untuk menegakkan Anti-Money Laundering dan Know Your Customer. Tujuan yang jelas tergantung pada keadaan seperti mandat dan kapasitas, dikombinasikan dengan pengembangan atau adopsi infrastruktur digital, akan menjadi kunci untuk memastikan perlindungan konsumen sambil mempromosikan inovasi. Sebagian negara telah menyadari hal ini dengan membentuk badan regulasi dan mekanisme yang jelas untuk izin dan standar peluncuran aplikasi fintech. Namun, tidak bisa dipungkiri kerangka kerjasama internasional yang fokus dengan pengelolaan big data dan regulasinya masih minim.
Dengan pemanfaatan big data yang diperoleh dari pemanfaatan Anti-Money Laundering dan Know Your Customer, pemimpin negara bisa memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan kerjasama global membentuk suatu badan yang fokus pada kepentingan regulator untuk berbagi informasi dan belajar dari satu sama lain, membangun indeks kesiapan pembayaran ekonomi global dan indeks kesiapan fintech, dan menghadirkan layanan pendanaan untuk mendukung inovasi yang dihasilkan dari negara yang termasuk dalam institusi fintech global yang berbasis big data. ****
Penulis adalah entrepreneur muda, peminat hubungan internasional dan teknologi.
Tidak ada komentar: