Edwin Partogi Pasaribu
JAKARTA, JO – Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas terkait penanganan kasus kekerasan terhadap anak di Kantor Presiden, Kamis (9/1-2020). Pada kesempatan itu, Presiden prihatin kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat.

Presiden meminta agar prioritas aksi pencegahan kekerasan pada anak melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada salah satu perintahnya kepada jajarannya, Presiden minta reformasi manajemen penanganan kasus yang dilakukan dengan cepat, terintegrasi dan komprehensif.

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia (LPSK RI) Edwin Partogi Pasaribu berpendapat, sesungguhnya, praktik upaya negara dalam melindungi anak masih mengalami ujian. Misalnya, pemberian grasi terpidana kasus kekerasan seksual siswa Jakarta International School (JIS), pembebasan pelaku pemerkosaan anak yang dialami Joni dan Jeni (nama samaran) di PN Cibinong pada Maret lalu yang kemudian dianulir Mahkamah Agung, hingga tersendatnya proses hukum terduga oknum pegawai kejaksaan di Batam dan Pontianak.

“Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik terhadap komitmen negara melindungi anak,” kata Edwin, Jumat (10/1/2020).

Menurut Edwin, fakta mengejutkan disampaikan LPSK RI dalam rilis Catatan Tahun 2019, Selasa (7/1/2020), yaitu, sekitar 37 persen pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari keluarga inti. Edwin menjelaskan, ada beberapa hal yang menyebabkan anak rentan menjadi korban kejahatan. “Anak-anak lebih mudah diarahkan. Mereka belum memiliki argumen atau kekuatan untuk menolak ajakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujarnya.




Masih kata Edwin, kekerasan seksual terhadap anak adalah segala bentuk apapun yang dapat menimbulkan trauma bagi korban, terutama anak-anak. Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan, pada tahun 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespon maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Tak hanya itu, salah satu prioritas pemerinah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 adalah melindungi anak dengan melaksanakan gerakan nasional perlindungan anak, pemberian bantuan hukum bagi anak pelaku, anak korban, dan saksi tindak kekerasan. Sejak beberapa tahun lalu juga tengah disusun Peraturan Presiden tentang Pelaksanaan Hak Anak Korban dan Anak Saksi, yang hingga kini belum disahkan oleh Presiden.

Edwin membeberkan, maraknya kekerasan seksual terhadap anak, salah satunya dapat dilihat dari meningkatnya permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK. Pada 2016 jumlah korban yang mengajukan permohonan sebanyak 35 orang, meningkat menjadi 70 orang di 2017 dan kembali naik menjadi 149 korban di 2018. Pada 2019 hingga bulan Juni terdapat 350 korban. Angka ini masih masih berupa gambaran puncak gunung es.

Karena itulah, Edwin mengimbau, di wilayah domestik, orang tua harus harus membangun hubungan yang harmonis dalam keluarga serta mengenalkan organ-organ anak yang tidak boleh dilihat atau disentuh oleh orang lain, termasuk mendidik anak untuk ‘melawan’ bila mengalami tindak kekerasan terhadapnya. Orang tua juga harus bijak dalam memberikan telepon seluler kepada anak agar tidak terpapar konten pornografi.

“Kita harus sama menyadari, penderitaan anak akibat kekerasan seksual biasanya membutuhkan penyembuhan yang lama, dan seringkali meninggalkan luka yang tak terhapus,” pungkas dia. (jo-2)


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.