Penelitian Geoarkeologi Situs Pulau Sawah, Buktikan Masyarakat Dharmasraya Abad 8-13 M Sudah Maju dalam Penentuan Lokasi Permukiman

Sketsa lokasional sebaran Munggu di Situs Pulau Sawah yang telah diekskavasi.Keterangan: PSW (Pulau Sawah).
JAKARTA, JO- Penelitian geoarkeologi yang dilakukan di permukiman kuno di sekitar situs Pulau Sawah, Dharmasraya, Sumatera Barat (Sumbar) menunjukkan adanya kearifan lokal dalam memilih lokasi permukiman.

Seperti disampaikan Dr Taqyuddin,peneliti dari Departemen Geografi, FMIPA, Universitas Indonesia, masyarakat Dharmasraya pada abad 8 hingga abad 13 Masehi sudah maju pada masanya dalam menentukan lokasi permukimannya yaitu memilih tempat yang subur dan luas dengan sungai yang sepanjang tahun berair.

“Mereka memilih tempat yang subur dan luas dengan sungai yang sepanjang tahun berair, dan mampu berlanjut dengan beradaptasi membangun pemukiman di area yang aman serta berani meninggalkan tempat-tepat yang membahayakan,” kata Taqiyuddin saat ditemui di Jakarta, Jumat (2/11/2018).

Dr Taqyuddin terlibat dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Agustus 2018 yang diketuai Ika Asih Taim, dan didukung oleh BPCB Sumatera Barat dan Komunitas Luar Kotak serta Dinas Kebudayaan Darmasraya bersama masyarakat Siguntur.

Kesimpulan itu didapat dari hasil rekonstruksi lokasional atau keruangan struktur bangunan bata dengan temuan penyertanya. Pendekatan geoarkeologi diperlukan untuk mengungkap bukti yang berasal dari penerapan analisis keruangan terkait dengan lingkungan fisik terutama geologi, geomorfologi, hidrologi dan sedimentologi, dan pedologi. Geoarkeologi merupakan setting dari lanskap budaya masa lalu pada lingkungannya.

Taqyuddin juga menyebut, nilai budaya lain yaitu adanya indikasi toleransi yang kuat, bahkan hingga sekarang dengan penduduk pemeluk agama Islam setelah kerajaan Pagaruyung berdiri. Refleksi budaya dari hasil rekonstruksi tinggalan nilai-nilai budaya untuk kehidupan ke depan masyarakat Dharmasraya.

“Perlu memperhatikan kondisi fenomena alam dan kekuatan modal sosial berupa toleransi beragama dengan mengkaitkan bahwa alam memiliki sistemnya sendiri dan manusia dapat mempelajari dengan tujuan lestari untuk keberlanjutannya,” ucap Taqyuddin.

Sketsa Triloka dan Asta Dikpalaka di situs Pulau Sawah.
Dharmasraya sendiri saat ini merupakan suatu wilayah administrasi baru hasil pemekaran dari kabupaten Sawahlunto/Sijunjung pada tahun 2004, di Sumbar berdasarkan Undang Undang Nomor 38 Tahun 2003, yang terdiri dari 4 kecamatan dengan luas 2.961, 13 Km atau 296.113 Ha. Secara lokasional kabupaten Dharmasraya terdapat di tengah Pulau Sumatera baik dari pantai Timur dan Barat maupun dari ujung Barat laut – Tenggara Pulau Sumatera. Dharmasraya sudah sangat terkenal mendunia karena wilayah yang dilintasi Sungai Batanghari masyarakat lokal menamai sungai bagian Dharmasraya ini sebagai Sungai Dareh.

Situs Pulau Sawah sebagai bentukan pulau tentunya secara natural dikelilingi oleh air. Air oleh penganut Hindu-Buddha merupakan representasi Amerta (air suci) dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam ritual keagamaan. Temuan munggu yang tersebar dengan menggunakan konsep Triloka dan Asta Dikpalaka menunjukkan suatu struktur yang dapat dipertimbangkan untuk merekonstruksi komplek percandian situs Pulausawah, baik sekala mikro, meso maupun makro.




Suatu temuan sebaran munggu yang lebih dari sebelas munggu dan sudah terbukti bahwa munggu adalah berisi tinggalan struktur dan benda penyertanya menunjukkan simbol keagaman yang lekat yaitu Hindu-Bhudda (Hinayana, Mahayan maupun Tantra). Bukti banyaknya bangunan tentunya bersesuaian dengan pendukung budayanya untuk memfungsikannya.

“Maka tidak bisa dipungkiri bahwa secara temporal temuan dari abad 8 hingga abad 13 M wilayah Dharmasraya merupakan wilayah yang dinamis,” ucap Taqyuddin.

Hal itu dibuktikan melalui toponimi yang ada di sekitar situs yang masih lekat oleh masyarakat saat ini disertai dengan tradisi lisan yang kuat maka diliniasi batas wilayah situs pendukung budaya dapat ditarik dari lokasional toponimi yang terluar yang masih dalam satu konteks yaitu pemukiman di lembah Sungai Batanghari yang daya dukung alam dan budayanya menunjukkan mengalami gangguan alam dari proses aktifitas sungai Batanghari dengan osilasi meandernya.

Demikian dapat dijelaskan bahwa khususnya situs Pulau Sawah adalah pemukiman yang lebih awal yang kemudian ditinggalkan karena gangguan sedimentasi yang berulang akibat kenaikan air yang tidak normal (bencana banjir Sungai Batanghari). Sementara dalam perjalanan budayanya pemukiman pendukung budaya situs beradaptasi secara alamiah mencari tempat yang lebih aman yaitu di area-area yang lebih tinggi dengan maksud terhindar dari bencana banjir dalam kelanjutan kehidupan pemukimannya.

Namun begitu, Taqyuddin mengakui, makalah ini masih sangat berkembang karena belum seluruh munggu diekskavasi, masih banyak data yang tersimpan dalam gundukan tanah di situs Pulausawah, massih banyak potensi data arkeologis di setiap lokasional toponimi yang mendukung sebagai tanda wilayah pemukiman pendukung budaya pada waktu lampau.

“Kerja multidisplin dan lintas untuk mengungkap rekonstruksi budaya masa lalu dengan pendekatan keruangan sangat dibutuhkan sehingga dapat menarik refleksi nilai-nilai penting budaya yang dapat diteruskan dalam kehidupan ke depan,” sambung Taqyuddin. (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.