LPSK
JAKARTA, JO- Paradigma proses peradilan pidana saat ini tidak saja bertujuan menghukum pelaku, tetapi juga bagaimana memulihkan dan mengganti kerugian korban. Hal itu sudah tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sudah seharusnya pada tataran implementatif, penegak hukum di negeri ini juga sudah berada di jalur yang diharapkan.

Demikian dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai saat berbagi pengalaman dalam memfasilitasi ganti kerugian bagi korban oleh pelaku tindak pidana (restitusi) kepada jaksa-jaksa se-Kalimantan, bertempat di Kota Balikpapan, Rabu (29/8-2018).

Kegiatan yang dihadiri 80 orang jaksa itu diinisiasi US Department of Justice (USDOJ) Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training (OPDAT). Selain Ketua LPSK, turut menjadi pemateri, Penasihat Hukum Tetap USDOJ OPDAT Jakarta Jared C Kimball dan Jaksa pada Satgas Penanganan Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Lintas Negara Jaya Siahaan.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menuturkan, pada saat proses hukum dimulai, persepsi yang terbangun di antara penegak hukum sudah mengarah untuk tidak saja menghukum pelaku, tetapi bagaimana membantu korban. Bahkan, dari pihak jaksa, sudah ada keinginan agar kerugian yang dialami korban tindak pidana, dapat dihitung sejak pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP).




LPSK, kata Semendawai, menjadi satu-satunya institusi yang dimandatkan negara melalui undang-undang untuk menghitung kerugian korban. Dengan demikian, kolaborasi penegak hukum dengan LPSK menjadi suatu keniscayaan. “Pada banyak kasus, semisal pada tindak pidana perdagangan orang, penyidik sudah melibatkan LPSK menghitung kerugian korban sebagai dasar mengajukan restitusi,” ungkap Semendawai.

Sementara itu, melalui pelatihan bagi para jaksa di Kalimantan ini, USDOJ OPDAT ingin agar jaksa bisa menambah pengetahuannya tentang pemenuhan hak saksi dan korban, termasuk dalam hal pemberian restitusi, khususnya pada tindak pidana terorisme dan perdagangan orang. Penasihat Hukum Tetap USDOJ OPDAT Jakarta Jared C Kimball menceritakan, Departemen Kehakiman Amerika Serikat memiliki pendanaan khusus untuk membantu korban, seperti para penyintas terorisme.

Selain itu, menurut Jared, USDOJ juga memiliki ahli yang biasa memberikan dukungan sekaligus memandu penyidik untuk menghitung kerugian korban. Pada kasus perdagangan orang, USDOJ juga membuat kelompok kerja (pokja) yang didalamnya melibatkan kepolisian, jaksa dan pekerja sosial. Sebab, pada kasus perdagangan orang, terkadang korban berada pada posisi yang sensitif dan cenderung enggan bekerja sama dengan penegak hukum.

Karena itulah, lanjut Jared, kehadiran pokja sangat membantu apalagi didalamnya melibatkan pekerja sosial. “Sebagai jaksa, saya sangat peduli dengan kondisi kejiwaan korban. Tetapi, saya juga menginginkan agar korban dapat bersaksi sehingga membantu jaksa membuktikan dakwaannya,” ujar Jared. (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.