Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satya Langkun.
JAKARTA, JO – Ancaman terhadap ahli yang memberikan keterangan pada pengadilan pidana itu nyata. Kondisi demikian tidak hanya terjadi pada pengadilan yang berlokasi di kota, melainkan juga di beberapa daerah di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman sejumlah ahli yang kerap membantu penegak hukum memberikan keterangan pada pengadilan pidana, jika keterangan yang disampaikan sekiranya akan berhadapan dengan “orang kuat”, makan tekanan yang diterima bisa dalam berbagai bentuk. Sedangkan jika keterangan yang disampaikan “melawan” orang biasa, tekanan yang akan dihadapi bisa dipastikan adalah ancaman fisik.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, berdasarkan pengalaman LPSK, tercatat ada beberapa bentuk intimidasi, teror dan ancaman bagi ahli, antara lain ancaman fisik, non-fisik seperti verbal dan intimidasi pada saat persidangan, dilaporkan balik atas keterangannya di pengadilan, dilaporkan atas kredibilitasnya sebagai ahli, bahkan teror berbau mistis.

Keterangan ahli, menurut Semendawai, diperlukan dalam membantu proses pembuktian di persidangan. Peran ahli cukup strategis dalam pengungkapan perkara pidana di pengadilan karena keterangannya bisa membantu penegak hukum mengungkap suatu tindak pidana. “Namun, akibat keterangan yang diberikan berdasarkan keahliannya itu, ada saja pihak-pihak tertentu yang merasa terancam sehingga harus menebar teror, intimidasi bahkan ancaman kepada ahli agar keterangannya tidak memberatkan,” ujar Semendawai dalam konferensi pers, “Perlindungan bagi Ahli dalam Pengadilan Pidana” di kantor LPSK, Rabu (9/5-2018) yang juga menghadirkan Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satya Langkun.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Sedangkan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP, dinyatakan, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.




Masih mengacu pada KUHAP Pasal 186, di situ disebutkan, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan pada penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ahli yaitu orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Masih menurut Semendawai, ahli bisa dihadirkan, baik oleh pihak terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU). Biasanya, menjadi ahli dari pihak terdakwa, buntut dari keterangan yang diberikan tidak akan berlanjut di luar persidangan. Beda halnya dengan ahli dari JPU, yang buntutnya biasanya akan timbul masalah atau ancaman. “LPSK memiliki pengalaman memberikan perlindungan terhadap ahli pada kasus korupsi. Ancaman fisik terhadap ahli pada kedua kasus itu memang tidak ada yang faktual, karena yang faktual justru pelaporan balik ke kepolisian terkait kredibilitas yang bersangkutan sebagai ahli,” ungkap Semendawai.

Sementara Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satya Langkun mengungkapkan, pada banyak pengungkapan kasus korupsi, baik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan, pasal yang digunakan adalah yang mengatur mengenai kerugian negara. Berangkat dari hal itulah, posisi ahli dirasakan sangat penting, salah satunya untuk menjelaskan serta menghitung kerugian negara yang dimaksud. “Risiko ahli dilaporkan balik memang tinggi sehingga membuat banyak akademisi atau orang yang memiliki keahlian tertentu enggan menjadi ahli dalam persidangan,” kata Tama.

Untuk itulah, dia meminta seharusnya pengadilan dapat menolak tindakan hukum yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap ahli yang memberikan keterangan di persidangan. “Dalam konteks pemberantasan korupsi, perlindungan terhadap ahli menjadi penting. Ini menambah tugas LPSK, tidak hanya melindungi saksi dan korban, tetapi juga ahli yang membutuhkan perlindungan,” ujar Tama sambil menyinggung gugatan yang diajukan terhadap ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberikan keterangan pada persidangan kasus korupsi dengan terdakwa mantan Gubernur Sultra Noor Alam. (jo-2)


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.