Swasta Bisa Berperan dalam Pemenuhan Psikososial Melalui CSR

JAKARTA, JO – Selain negara, pihak swasta juga dimungkinkan untuk ambil peran dalam pemenuhan hak psikososial bagi korban kejahatan. Misalnya, melalui pemanfaatan program tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, hak korban tindak pidana mendapatkan bantuan rehabilitasi psikososial diatur secara jelas pada Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Bantuan psikososial bertujuan membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.

“Di pusat dan daerah, sebenarnya ada program (semacam psikososial) yang bisa dimanfaatkan. Namun, karena pemenuhan bantuan rehabilitasi psikososial ini bersifat lintas sektoral, sebab ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya, ditambah lagi ada peran pemerintah daerah, sehingga cukup kompeks dalam pelaksanaannya,” kata Semendawai saat jumpa wartawan di kantor LPSK, Cijantung, Jakarta Timur, Kamis (8/3/2018).

Di daerah khususnya, menurut Semendawai, pememuhan hak psikososial bagi korban tindak pidana sebagian sudah berjalan meski kasus per kasus. Hanya saja di tingkat nasional yang belum ada kesepahaman. Dibutuhkan kebijakan khusus di tingkat kementerian terkait sehingga dapat menjadi petunjuk teknis bagi perangkat di daerah. Dengan demikian, setiap ada korban yang membutuhkan rehabilitasi psikososial, bantuan bisa direalisasikan.

Baca hotel terbaik di Paris, tulis komentarmu
Bandingkan harga hotel dan reviewnya di New York City
Baca review rental liburan di seluruh dunia
Ada apa di London? Cari hotel termurah dan nyaman disana!

Di LPSK sendiri, kata Semendawai, dari 3.008 layanan yang tengah berjalan hingga akhir Februari 2018 bagi saksi dan korban, khusus pemenuhan bantuan rehabilitasi psikososial, angkanya terbilang masih sangat minim, berjumlah sebanyak 41 layanan, terdiri atas 25 layanan bagi korban tindak pidana pidana terorisme, 9 layanan bagi korban kekerasan seksual anak dan sisanya 7 layanan bagi korban dari tindak pidana umum lainnya.

Kasubdit Pengembangan dan Harmonisasi Standar Kompetensi pada Kementerian Tenaga Kerja Muchtar Aziz menjelaskan, pihaknya bisa melakukan intervensi dalam pemenuhan hak psikososial bagi korban melalui pelatihan ketenagakerjaan. Hal ini bertujuan agar proses pengembalian fungsi sosial individu tersebut berjalan baik. “Dalam UUD disebutkan, setiap warga negara, tidak penting siapa dia, berhak atas hidup dan pekerjaan layak,” ujarnya.

Selama ini, pihaknya rutin memberikan pelatihan bagi para warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Selain itu, dilakukan juga kerja sama dengan Mabes TNI untuk memberikan pelatihan ketenagakerjaan bagi anggota TNI yang karena tugas mengalami disabilitas. “Pemberian pelatihan (ketenagakerjaan) bagi korban kejahatan, seharusnya hal itu bisa dilakukan,” kata Muchtar.

Apalagi, lanjut dia, Kemenaker memiliki fasilitas yang cukup untuk melakukan hak tersebut, dimana terdapat 301 balai latihan kerja yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, hingga kabupaten/kota, yang 17 di antaranya di bawah kewenangan langsung Kemenaker. “Pemberian materi pelatihan, saat ini sudah tidak ada batas usia lagi. Jadi, semua bisa berkesempatan, baik untuk bekerja atau menjadi wirausaha,” ujarnya. (jo-2)



Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.