Abdul Haris Semendawai
BOGOR, JO – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus mensosialisasikan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana. Kali ini, PP tersebut diperkenalkan kepada aparat penegak hukum, mulai hakim, jaksa dan penyidik dari kepolisian yang menjadi peserta Pendidikan dan Pelatihan Terpadu Sertifikasi Sistem Peradilan Pidana Anak Seluruh Indonesia.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani dan Tenaga Ahli bidang Pemenuhan Hak Saksi dan Korban LPSK Syahrial Martanto, dihadirkan sebagai narasumber dalam kegiatan yang diselenggarakan Pusdislat Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Kamis (9/11-2017). “Pengenalan PP Restitusi Anak Korban Tindak Pidana kepada hakim, jaksa dan polisi, tepat karena mereka nanti akan menangani kasus dimana anak jadi korban,” ujar Semendawai.

Menurut Semendawai, PP Nomor 32 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak Korban Tindak Pidana, baru disahkan dan ditandatangani pada akhir Oktober 2017. Dengan demikian, PP ini masih baru sehingga perlu diketahui penegak hukum sehingga dapat dilaksanakan secara maksimal. Apalagi, PP ini dengan tegas mewajibkan penyidik kepolisian dan jaksa untuk menginformasikan kepada korban melalui orang tua atau walinya bahwa mereka punya hak untuk mengajukan restitusi.

Hotel Paling Romantis. Berapa Sih Tarifnya!! Hemat 25% untuk Setiap Hotel Tempat Anda Menginap & Baca Ulasannya
Cari Tahu Tarif Hotel Terkini di Medan
Cari Tahu Tarif Hotel Terkini di Palembang

Adapun bentuk restitusi dimaksud, lanjut dia, yaitu ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Jika pelaku tindak pidana itu adalah anak, maka yang berkewajiban membayar restitusi adalah orang tua, baik ayah maupun ibu kandung, ayah atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. “Kerugian yang diminta ganti bisa material dan immaterial,” tutur Semendawai.

Selain PP Nomor 43 Tahun 2017, pada kesempatan itu juga dijelaskan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum. Semendawai berpendapat, pada sejumlah kasus, perempuan atau anak perempuan, menjadi korban tindak pidana sehingga lahirnya perma ini dianggap sangat relevan, khususnya dalam kasus-kasus dengan perempuan sebagai korban.

Dia mencontohkan, anak korban perempuan dalam persidangan berhak didampingi dan pemeriksaan dimungkinkan menggunakan teleconference. Bila anak perempuan korban tersebut mendapatkan rekomendasi dari LPSK untuk diperiksa menggunakan teleconference, maka jaksa dan hakim harus mengizinkannya karena pemeriksaan perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana dengan telekonference dianggap sangat penting.

Sebab, menurut Semendawai, biasanya pada saat anak korban harus berhadapan dengan pelaku di persidangan, mereka akan takut sehingga sulit menjelaskan penderitaan yang diterima. Kondisi demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan trauma baru bagi mereka. “Kita mengapresiasi Pusdik Mahkamah Agung yang menggelar kegiatan ini. Dengan harapan akan banyak penegak hukum yang peduli dengan saksi dan korban, khususnya anak dan perempuan,” katanya. (jo-2)


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.