Kampanye Pilkada Sebaiknya Mendidik Masyarakat

Ilustrasi
Oleh Chappy Aprianto

JAKARTA- Atmosfer politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota Jakarta kian terasa memanas. Meskipun pelaksanaan pilkada itu sendiri baru akan digelar pada 2017 mendatang, namun peta persaingan kandidat untuk merebut orang nomor satu di DKI ini terlihat mulai menghangat.

Paling tidak, saat ini sudah bermunculan nama-nama yang siap menantang kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang secara resmi telah didukung oleh Partai Nasdem, Hanura, dan Golkar. Sebut saja nama pengusaha Sandiaga Uno dan Yusril Izha Mahendra yang siap menjadi rival Ahok pada pelaksanaan pilkada nanti.

Peta politik memang cenderung berubah, artinya mungkin saja akan muncul nama-nama baru sebagai penantang yang siap meramaikan hajatan politik warga DKI Jakarta ini. Terlebih PDIP baru mengumumkan secara pasti siapa kandidat yang akan mereka usung nantinya pada Selasa (20/9) malam.

Terlepas dari kecenderungan peta politik yang mungkin saja berubah, dan nama-nama kandidat yang mungkin saja bertambah, kita melihat budaya politik kita masih terjebak dalam kampanye yang saling menjatuhkan. Selain tidak mendidik masyarakat, cara seperti ini malah bisa memecah-belah masyarakat di tingkat bawah.

Euporia keberpihakan pada salah satu kandidat yang menjadi idola untuk diusung pada pilkada nanti tentunya boleh-boleh saja, dan itu merupakan hak politik setiap individu dalam menentukan keberpihakan pada siapa yang dianggap memiliki kompentensi baik. Tapi, menghalalkan segala cara dengan menyebar fitnah dan menyuarakan semangat permusuhan tentunya bukanlah sikap terpuji.

Jauh lebih baik pada momentum pilkada seperti ini tim sukses menjual prestasi kandidat yang diusung, serta mensosialisasikan program-program jitu yang dimiliki oleh kandidat untuk dijual pada masyarakat agar mendapat simpati. Langkah seperti ini jauh lebih elegan, sekaligus dapat memberikan pembelajaran politik yang baik pada masyarakat.

Lihat saja kampanye di media sosial dengan mudah kita jumpai kata-kata kasar dalam menghujat kandidat tertentu. Isu SARA dikelola dengan mengedapankan aura permusuhan dengan menanggalkan etika yang katanya kita adalah bangsa yang beradab dan telah selesai dalam perbedaan yang disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak terlalu elok jika dari waktu ke waktu kita selalu mewariskan semangat permusuhan dalam setiap prosesi pilkada yang berlangsung. Demokrasi kita akan tetap berjalan di tempat tanpa mengalami kemajuan jika tidak ada pembenahan dan kesadaran untuk keluar dari budaya seperti ini. Kita harus bergerak maju dengan menularkan semangat positif dengan mengedepankan kampanye kreatif agar kandidat yang diusung memiliki nilai positif di mata masyarakat.

Kandidat yang siap bertarung sebaiknya merubah pola kampanye negatif yang dimainkan oleh tim sukses menjadi kampanye positif dengan tidak saling menjelekkan. Bahkan bisa jadi, jika hal itu diteruskan akan menjadi bumerang bagi kandidat penyerang.

Semoga tradisi kampanye politik tim sukses dapat lebih baik dengan tidak saling menjatuhkan. Mari cerdaskan pemilih dengan menjual program kandidat untuk menuai simpati publik. (Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta)

Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.