Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak
HE Yohana Susana Yembise didampingi
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai pada
pembukaan Konferensi Regional Asia Tenggara:
Perlindungan dan Rehabilitasi bagi Anak
Korban Eksploitasi Seksual Komersial
di Jakarta, Senin (14/12). 
JAKARTA, JO- Trauma yang diderita anak korban kejahatan sulit dihilangkan. Apalagi, pada anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, seperti kejahatan pornografi di internet. Usia anak-anak memang rentan menjadi korban kejahatan. Hal itu dikarenakan anak-anak lebih mudah diarahkan dan mereka belum memiliki argumen atau kekuatan untuk menolak ajakan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Director General, International Affairs Department, The Office of The Attorney General of Thailand Wanchai Roujanavong mengungkapkan, pelaku eksploitasi seksual anak saat ini bukan hanya pedofilia saja. “Harus dibedakan antara pedofilia dan oportunis,” kata Wanchai dalam Konferensi Regional Asia Tenggara: Perlindungan dan Rehabilitasi bagi Anak Korban Eksploitasi Seksual Komersial di Jakarta, Senin (14/12).

Kegiatan ini terselenggara berkat kerja sama ECPAT Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menurut Wanchai, pedofilia tidak mampu melakukan hubungan seks dengan orang dewasa. Tetapi, oportunis di sini maksudnya orang dewasa yang tetap melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa lainnya, menikah dan memiliki anak, namun memilih mengeksploitasi seks anak ketika ada kesempatan sebagai perilaku seksual. “Oportunis inilah yang sangat perlu diwaspadai karena (oportunis) ada di mana saja,” tutur Wanchai.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai berpendapat, agar tindak kejahatan seksual terhadap anak tidak terus berkembang, penegakan hukum harus tegas. Apalagi, kasus eksploitasi seksual anak sudah menjadi perhatian masyarakat internasional. Data yang ada menyebutkan, di kawasan Asia Tenggara saja, korban eksploitasi seksual anak sudah mencapai 2 juta orang. Sedangkan di Indonesia, dari laporan yang diterima, anak korban eksploitasi seksual mencapai 70.000 orang.

Hadirnya Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana telah disempurnakan melalui UU No 31 Tahun 2014, kata Semendawai, menegaskan kehadiran negara bagi korban kejahatan dengan memberikan layanan perlindungan dan bantuan berupa rehabilitasi bagi korban kejahatan, termasuk anak korban eksploitasi seksual. Layanan dimaksud berupa bantuan medis, psikologis dan psikososial.

Selain itu, masih menurut Semendawai, UU Perlindungan Saksi dan Korban juga memungkinkan korban kejahatan, untuk mengajukan ganti kerugian kepada pelaku atau yang lebih dikenal dengan sebutan restitusi melalui proses peradilan. Dan, yang lebih penting lagi, LPSK juga mendapatkan amanah dari UU Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memfasilitasi korban kejahatan mendapatkan rehabilitasi psikososial.

Presiden ECPAT Indonesia Achman Marzuki menuturkan, tingginya kasus kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak di Asia Tenggara, yang mencapai 2 juta orang per tahunnya, menuntut semua pihak untuk memberikan perhatian lebih dalam hal penanganannya. Pola penanganan yang diharapkan harus mampu dituangkan dalam sebuah struktur kerja yang sistemik.

“Selain SDM dan fasilitas lainnya, penanganannya harus mampu menjangkau semua korban di mana pun mereka berada,” ujar Marzuki. (jo-2)

Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.