Ridwan Mukti: Putusan MK Tepat, DPR Sebaiknya Cepat Tuntaskan RUU Pilkada dan RUU Pemda

Ridwan Mukti
JAKARTA, JO- Ridwan Mukti, doktor Hukum Tata Negara Universitas Sriwijaya (Unsri), menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus kewenangannya sendiri untuk menanganai kasus pilkada sebagai putusan yang tepat.

"Saya sudah mengatakan hal itu sejak lama, sengketa pilkada itu bukan sengketa pemilu, jadi memang bukan kewenangan MK," kata Dr Ridwan Mukti saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/5).

Ridwan, yang juga bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel) ini kemudian meminta DPR untuk segera menyikapi putusan MK ini, yakni dengan menyesuaikan perangkat perundangannya.

"Sebaiknya DPR cepat tuntaskan RUU Pilkada dan RUU Pemda," katanya.

Dikatakan, materi putusan sengketa pilkada akan diatur dalam UU Pilkada. Sementara UU Pemda belum direvisi maka sengketa pilkada tetap di MK.

Seperti diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya yang menggugat kewenangan MK mengadili sengketa pilkada.

Dalam pembacaan putusan permohonan yang diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), BEM Universitas Esa Unggul, dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) itu, Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan,penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pasal 236C UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD 1945," ucap Hamdan.

Menurut Hamdan, MK akan tetap menggelar PHPU Kepala Daerah hingga ada UU pengganti.

Dalam disertasinya beberapa waktu lalu, Ridwan Mukti mengusulkan penyelenggaraan pilkada asimetris atau tidak seragam di Indonesia, antara lain sebagai jawaban atas banyaknya persoalan yang dihadapi daerah-daerah dalam menghadapi pilkada.

Dikatakan Ridwan, konstitusi memang sudah mengatur permasalahan yang berkaitan dengan pilkada pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Tapi, menurutnya, pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan secara parsial karena tidak berdiri sendiri.

Ridwan berpendapat, ada 16 pasal lain dalam pasal-pasal UUD 1945 yang berkaitan erat tidak boleh dipisahkan satu sama lain, yakni Pasal 1 ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 37 ayat (5), Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) sampai dengan ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1).

“Kesimpulan terhadap17 pasal konstitusi tersebut mempertegas bahwa pemilihan sistem pilkada tidak ditujukan untuk melahirkan kultur masyarakat liberal individual kapitalistik, melainkan untuk mewujudkan kebersamaan dalam kekeluargaan masyarakat gotong royong. Terkonsep beragam, berkearifan lokal, tunggal ika dalam kebhinekaan, final dalam bingkai NKRI, serta memperkokoh kekuasaan pemerintahan presidensial,” katanya.

Dengan demikian, begitu Ridwan, aturan hukum pilkada sekarang ini jelas belum berfungsi sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka melakukan perilaku masyarakat untuk berubah ke arah penguatan asas-asas ke-17 pasal konstitusi tersebut menuju terbentuknya kultur masyarakat demokratis Pancasila. (jo-2)

Mengunjungi London? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.