Tiap Malam Orang Tua Ini Bawa Anaknya Tidur di Bantaran Kali
![]() |
Otim dan isterinya, Siti bersama dua puteri mereka yang dibawa tidur ke pinggir kali, selama lima tahun ini. (foto:jo-2) |
M Otim, 54, dan Siti,54, bersama dua anak mereka yang masih kecil Salma, 7, dan Santi, 4, tampak muncul di taman, tak jauh dari Pos Karang Taruna. Di samping sebuah bedeng proyek, mereka menggelar tikar dan kardus-kardus bekas untuk dipakai sebagai alas tidur.
"Tiap malam kami tidur di sini," kata Otim kepada Jakarta Observer, saat menemui mereka, belum lama ini. Di belakangnya sang isteri sedang sibuk menyiapkan selimut dan baju hangat buat si kecil.
Tidak jauh dari "lapak" mereka, ada juga "lapak" tuna wisma lain, juga pasangan suami isteri yakni Ramlan, 60, dan Farida alias Yeyen, 54, yang sehari-hari berprofesi sebagai pemulung. Keduanya masih "tidur-tidur ayam" ketika 0kim, Siti, Santi dan Salma hadir di sana.
"Kontrakan neneknya kecil, tidak muat. Anak saya semua ada sembilan. Tempatnya sempit, posisinya di atas lagi," sambung Otim memberikan alasan mengapa bersama isteri dan dua anaknya yang masih kecil memilih untuk tidur di taman kosong di pinggir kali yang banyak angin, nyamuk dan berbau busuk sampah yang mengendap di dasar kali.
Kontrakan sang nenek yang dimaksud Otim ada di Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara. Sang nenek mengontraknya Rp350.000 sebulan. Kontrakan berupa petak kecil yang tidak bisa menampung 13 orang sekaligus. Okim sendiri hanya bisa menumpang karena tidak punya uang untuk mengontrak sendiri.
Si kecil Santi tidak terlihat cengeng. Ia tampak senang berguling-guling di atas kardua bekas, dan sesekali dia terlihat berbicara dengan ayahnya. "Yah, Santi mau susu seperti yang kemarin lagi," katanya. Tapi segera dia meralat omongannya yang rada menuntut, "Nanti dibeli ya, Yah, kalau sudah ada duit," katanya.
Dua anak yang terlihat cantik itu tak berapa lama sudah terlihat tertidur. "Mereka sudah terbiasa tidur di sini," kata Okim. "Sejak lima tahun lalu."
Ayah yang sehari-harinya bekerja serabutan itu merujuk anaknya yang paling bontot Santi. Santi, kata Okim, sudah terbiasa tidak tidur di rumah sebagaimana layaknya anak-anak lain, sejak usia 40 hari.
"Sejak usia 40 hari, Santi sudah tidur di sini," katanya menunjukkan tempat tidur kardus-kardua bekas di pinggir kali itu.
Setiap hari, setiap memasuki malam, Otim, Siti, Santi dan kakaknya Salma datang ke taman pinggir kali Pejagalan ini. Naik bus dari Teluk Gong dengan ongkos Rp3.000. Menjelang pagi sekitar pukul 05.00 WIB mereka pun bangun, mengepaki selimut, dan kardus-kardua bekas, kembali lagi ke Teluk Gong.
"Alhamdulillah tidak pernah sakit. Anak-anak sudah terbiasa dengan angin. Kalau untuk ngusir nyamuk kita selalu pakai krim pengusir nyamuk," sambungnya.
Ketika ditanya mengapa mereka memilih pinggir kali di Jalan Pejagalan sebagai tempat untuk tidur, Okim mengatakan lokasi itu lebih tenang dan sudah sangat akrab dengan mereka, khususnya anak-anaknya yang sudah bisa jalan ke sana sendirian.
Okim mengatakan, sudah lima tahun ini mereka menggelandang seperti ini. Untuk mengontrak rumah dia tidak punya uang. Kadang ia bekerja sebagai tukang bajaj, tapi selain belum tentu dapat armada, hasilnya pun tidak tentu. Bahkan tidak jarang nombok.
"Apalagi sekarang musim macet, nyari duit dengan sopir bajaj sulit. Untuk makan saja pusing, kadang-kadang hanya dapat setoran untuk sewa bajaj Rp60 ribu sama oli," begitu Okim.
Dengan situasi sulit itu, jelas tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk memikirkan sekolah anak-anak. Sembilan anaknya, termasuk Santi dan Salma tidak mendapatkan haknya untuk bersekolah.
Untung saja dua dari anaknya itu saat ini sudah menikah sehingga sudah bisa mencari uang untuk diri mereka sendiri meskipun tetap masih dalam kondisi yang juga morat-marit.
"Saya pernah mau masukkan sekolah SD di Teluk Gong tapi mereka minta Rp350.000, saya tidak punya uang," katanya. "Nantilah kalau saya sudah punya kontrakan, kita pikir sekolah," sambungnya.
Apakah dia pernah berpikiran untuk memasang tenda agar dua anaknya bisa terlindung dari angin dan nyamuk, Otim bilang tidak. Alasannya takut ditangkap Trantib dan dimarahi warga.
"Nggak berani, Mas, takut ditangkap Trantib. Begini saja sudah enak," katanya.
Percakapan pun berhenti sampai di sana. Si kecil Santi dan Salma sudah lelap tertidur. Siti, sang isteri kemudian merapikan posisi mereka berdua. Mereka di tempatkan di tengah-tengah diapit Siti di ujung kiri dan Okim di bagian kanan.
Sementara itu, sepasang suami isteri lain Ramlan dan Farida yang "kardusnya" hanya semeter jauhnya dari mereka juga sudah terdengar mendengkur.
Selamat tidur, Jakarta... (jo-2)
"Tiap malam kami tidur di sini," kata Otim kepada Jakarta Observer, saat menemui mereka, belum lama ini. Di belakangnya sang isteri sedang sibuk menyiapkan selimut dan baju hangat buat si kecil.
Tidak jauh dari "lapak" mereka, ada juga "lapak" tuna wisma lain, juga pasangan suami isteri yakni Ramlan, 60, dan Farida alias Yeyen, 54, yang sehari-hari berprofesi sebagai pemulung. Keduanya masih "tidur-tidur ayam" ketika 0kim, Siti, Santi dan Salma hadir di sana.
"Kontrakan neneknya kecil, tidak muat. Anak saya semua ada sembilan. Tempatnya sempit, posisinya di atas lagi," sambung Otim memberikan alasan mengapa bersama isteri dan dua anaknya yang masih kecil memilih untuk tidur di taman kosong di pinggir kali yang banyak angin, nyamuk dan berbau busuk sampah yang mengendap di dasar kali.
Kontrakan sang nenek yang dimaksud Otim ada di Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara. Sang nenek mengontraknya Rp350.000 sebulan. Kontrakan berupa petak kecil yang tidak bisa menampung 13 orang sekaligus. Okim sendiri hanya bisa menumpang karena tidak punya uang untuk mengontrak sendiri.
Si kecil Santi tidak terlihat cengeng. Ia tampak senang berguling-guling di atas kardua bekas, dan sesekali dia terlihat berbicara dengan ayahnya. "Yah, Santi mau susu seperti yang kemarin lagi," katanya. Tapi segera dia meralat omongannya yang rada menuntut, "Nanti dibeli ya, Yah, kalau sudah ada duit," katanya.
Dua anak yang terlihat cantik itu tak berapa lama sudah terlihat tertidur. "Mereka sudah terbiasa tidur di sini," kata Okim. "Sejak lima tahun lalu."
Ayah yang sehari-harinya bekerja serabutan itu merujuk anaknya yang paling bontot Santi. Santi, kata Okim, sudah terbiasa tidak tidur di rumah sebagaimana layaknya anak-anak lain, sejak usia 40 hari.
"Sejak usia 40 hari, Santi sudah tidur di sini," katanya menunjukkan tempat tidur kardus-kardua bekas di pinggir kali itu.
![]() |
Okim dan Siti saat mempersiapkan tempat tidur untuk mereka dan dua puterinya. |
"Alhamdulillah tidak pernah sakit. Anak-anak sudah terbiasa dengan angin. Kalau untuk ngusir nyamuk kita selalu pakai krim pengusir nyamuk," sambungnya.
Ketika ditanya mengapa mereka memilih pinggir kali di Jalan Pejagalan sebagai tempat untuk tidur, Okim mengatakan lokasi itu lebih tenang dan sudah sangat akrab dengan mereka, khususnya anak-anaknya yang sudah bisa jalan ke sana sendirian.
Okim mengatakan, sudah lima tahun ini mereka menggelandang seperti ini. Untuk mengontrak rumah dia tidak punya uang. Kadang ia bekerja sebagai tukang bajaj, tapi selain belum tentu dapat armada, hasilnya pun tidak tentu. Bahkan tidak jarang nombok.
"Apalagi sekarang musim macet, nyari duit dengan sopir bajaj sulit. Untuk makan saja pusing, kadang-kadang hanya dapat setoran untuk sewa bajaj Rp60 ribu sama oli," begitu Okim.
Dengan situasi sulit itu, jelas tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk memikirkan sekolah anak-anak. Sembilan anaknya, termasuk Santi dan Salma tidak mendapatkan haknya untuk bersekolah.
Untung saja dua dari anaknya itu saat ini sudah menikah sehingga sudah bisa mencari uang untuk diri mereka sendiri meskipun tetap masih dalam kondisi yang juga morat-marit.
"Saya pernah mau masukkan sekolah SD di Teluk Gong tapi mereka minta Rp350.000, saya tidak punya uang," katanya. "Nantilah kalau saya sudah punya kontrakan, kita pikir sekolah," sambungnya.
Apakah dia pernah berpikiran untuk memasang tenda agar dua anaknya bisa terlindung dari angin dan nyamuk, Otim bilang tidak. Alasannya takut ditangkap Trantib dan dimarahi warga.
"Nggak berani, Mas, takut ditangkap Trantib. Begini saja sudah enak," katanya.
Percakapan pun berhenti sampai di sana. Si kecil Santi dan Salma sudah lelap tertidur. Siti, sang isteri kemudian merapikan posisi mereka berdua. Mereka di tempatkan di tengah-tengah diapit Siti di ujung kiri dan Okim di bagian kanan.
Sementara itu, sepasang suami isteri lain Ramlan dan Farida yang "kardusnya" hanya semeter jauhnya dari mereka juga sudah terdengar mendengkur.
Selamat tidur, Jakarta... (jo-2)
Pemimpin Tou Munte pertama bernama PIRI, berasal dari Desa kiawa
BalasHapusperna ikut dalam penangkapan Diponegoro dengan pangkat pemberian Lentnan
dibawah pimpinan Tonaan W.Dotolong