Lokakarya ketahanan energi dan perubahan iklim yang
digelar CDKN dan Bappeda Provinsi NTB di Mataram,
akhir Juli 2016 lalu.
MATARAM, JO- Persoalan energi dan perubahan iklim menjadi perhatian penting di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini. Bayangkan daerah yang telah bertumbuh menjadi destinasi pariwisata kelas dunia ini ternyata masih mengalami defisit pasokan listrik yang cukup serius. Padahal potensi untuk energi baru dan terbarukan sangat besar, dan sayangnya belum tereksplor secara optimal akibat berbagai kendala.

Itulah sebabnya, Climate and Development Knowledge Network (CDKN) bekerja sama dengan Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar lokakarya ketahanan energi dan perubahan iklim di Mataram, pada akhir Juli 2016 lalu.

Hasilnya sejumlah rekomendasi pun diserahkan kepada Pemprov NTB, antara lain untuk mengatasi terbatasnya pendanaan di APBD untuk sector energy, upaya mengaktifkan kembali Forum Komunikasi Energi Daerah (Forkenda), membuat regulasi yang mempermudah proses perizinan dan investasi hingga perlunya pertimbangan budaya lokal dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

“Kapasitas terpasang energi terbarukan pada tahun 2015 hanya 14 Megawatt, sedangkan potensi energi terbarukan belum dikembangkan secara optimal. Sebagai contoh, kontribusi dari mini hidro saja 96,5 MW,” kata Niken Arumdati dari Dinas ESDM Provinsi NTB saat dihubungi dari Jakarta, hari ini.

Lokakarya yang digelar di Bappeda NTB, Mataram, Senin (25/7), diikuti kepala dinas dari sejumlah kabupaten/kota se-NTB, dengan pemrasaran antara lain Rahmat Sabani dari PEKA Sinergi-Universitas Mataram (Unram), Farma Mangunsong dari LPEM-UI, Rosmaliati Muchtar dari Unram dengan moderator Samsudin Saud dari Bappeda NTB dan perwakilan CDKN Mochamad Indrawan.

Apalagi, begitu Niken, ketahanan energi terkait langsung dan tidak langsung dengan ketahanan terhadap perubahan iklim, yang menjadi perhatian global saat ini, termasuk komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi.

Menurut Rosmaliati, dalam lokakarya ini terungkap sejumlah tantangan, hambatan dan peluang. Tantangan utama, meyakinkan para pihak bahwa pasokan energi memerlukan kerja sama lintas sektor bukan hal mudah namun harus diupayakan.

Tantangan lain, masyarakat daerah belum terlalu paham terhadap bahaya dan dampak perubahan iklim. Dimana perubahan iklim akan mengakibatkan kenaikan air muka laut, menurunnya ketersediaan stok ikan, perubahan pola tanam, dan seterusnya yang harus disikapi melalui aksi aksi adaptasi dan mitigasi.

“Kesadartahuan terhadap Perubahan iklim memberi ruang dimunculkan sejumlah solusi bahkan terobosan menarik,” sambungnya.
Farma Mangunsong dari LPEM-UI mengungkapkan penganggaran hijau dapat memberi insentif bagi ketahanan iklim. Dalam penganggaran hijau proses social dan ekologi secara cermat dimasukkan ke dalam sistim ekonomi.

Sebagai contoh, dapat digunakan budget netral dimana perijinan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dapat dipermudah untuk investor, bahkan masyarakat setempat.

Rosmaliati berpendapat, inisiatif setempat seperti pembangunan mikro hidro yang bersifat off-grid (di luar jaringan PLN) dapat di bangun agar pembangkitan listrik dapat keberlanjutan dan tidak bergantung PLN. Selain itu, pembangunan pembangkit listrik on grid PLN jangan sampai berkompetisi dengan pembangkit listrik off-grid yang dikelola oleh masyarakat.

Dijelaskan juga, ketahanan energi dan perubahan iklim tidak mungkin terjadi tanpa penyiapan SDM sedini mungkin. Hal ini ditegaskan Rahmat Sabani dari PEKA Sinergi-Unram bahwa energi baru terbarukan merupakan suatu peluang.

“Unram sedang merancang Center of Excellence (Pusat Kepiawaian) untuk mempersiapkan SDM pada tahapan lulusan SMA/SMK berbasis EBT melalui sertifikasi TET (Teknik Energi Terbarukan) pertama di Indonesia,” kata Rahmat.

Menurutnya, ketahanan energi dan perubahan iklim perlu dan harus dimantapkan. Di NTB baik pemerintah maupun masyarakat masih belum banyak memahami bahwa pengembangan energi baru dan terbarukan bermanfaat untuk ketahanan energi sekaligus perubahan iklim pada saat ini dan masa mendatang.

Sementara Samsudin Saud dari Bappeda NTB memberi contoh, bahwa mainstream perubahan iklim sudah masuk pada RPJMD Provinsi NTB tahun 2013-2018 dan perlu diadopsi pada RPJMD mendatang oleh 10 Kabupaten/ Kota yang ada di NTB.

Gubernur NTB sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 51 tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK), dimana salah satu aksi mitigasi di sektor energi adalah pembangunan instalasi energi berbasis EBT.

Dibahas juga pentingnya adalah membangun forum antar pihak. Niken Arumdati dari Dinas ESDM NTB mengungkapkan bahwa forum demikian dapat mengatasi kendala ego sektoral yang sering terjadi di daerah.

Pendekatan kultural dan sosial pun perlu dilakukan dan terus ditingkatkan melalaui awig-awig (local wisdom). Mekanisme konsultasi dan koordinasi semenjak awal perlu dibangun karena karakter masyarakat setiap daerah yang berbeda-beda.

Seperti dijelaskan Fathur Arifin dari pemda Kabupaten Bima dalam lokakarya ini, sistim pemeliharaan ternak di Pulau Sumbawa dengan sistem lar/so atau dilepas liarkan dengan sistem pemeliharaan ternak di pulau di Lombok yang dikandangkan. (jo-2)


Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.