Pengakuan Pasien Klinik Metropole, Diagnosa Bohong Hingga Dokter dengan Penerjemah

Klinik Metropole
JAKARTA, JO- Klinik Pratama Metropole yang sudah dicabut izinnya per akhir Agustus 2014 lalu ternyata membuat banyak cerita baru diantara para mantan pasien yang pernah berobat disini.

Hal itu terlihat dari keluh-kesah para pasien di media sosial, antara lain dialami para wanita yang berinisial berinisial S, F, W, R, C, A, K, M, H, D, Y,SC, DO,DK, danKM.

Menurut mereka, klinik yang berlokasi di Jalan Pintu Besar Selatan No38 RT 012 RW 05, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakbar itu, telah melakukan malpraktik dan mencoba menipu pasien mereka dengan diagnosa bohong-bohongan serta harga pengobatan yang terlampau mahal.

Seorang perempuan berinisial S mengaku awalnya dia hanya mengalami gangguan menstruasi biasa saja, lalu supaya lebih aman, dia ingin mengecek ke rumah sakit spesialis. Kemudian mendatangi Klinik Metropole.

"Saya kita RS itu besar tapi pas kesana ternyata hanya ruko berlantai 4," ucapnya, sebagaimana dikutip Kamis (18/8).

Setelah daftar langsung diperiksa sama dokter namanya dr Sung, yang kepadanya mengaku berasal dari Singapura. Uniknya, meski praktik di Indonesia, dokter ini tidak bisa berbahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Laporan pemeriksaan laboratorium Klinik Metropole.
"Dia ngomong pake bahasa China, jadi para dokternya harus didampingi penerjemah," sambung S.

Setelah cerita tentang kondisi S lalu diperiksa kolposkopi yang ada kameranya, dicek cairan keputihan dengan cek darah dan
USG kemudian disuruh bayar ke kasir Rp 320.000 rupiah yang menurutnya sangat murah.

Hanya sejam kemudian hasil tes tersebut langsung keluar. Karena itu, setelah bayar masuk lagi ke ruang dokter. Disana dijelasin bahwa S kena kista, radang dan ada cairan pelvis di rahim sambil nunjukkan hasil tes tadi.

"Merasa syok banget dengernya disuruh untuk terapi disitu sebanyak 10 kali, tapi saat itu saya mau 7 kali saja. Soalnya takut kalau tidak segera diobatin bakal jadi mandul atau malah kanker."

Mendengar itu S pun ke kasir dan disuruh bayar hampir Rp 5 juta untuk terapi, kebetulan waktu itu lagi ada uang segitu. Dokternya bilang untuk langsung mulai terapi hari itu juga, dan disuruh ke ruang terapi.

Disini S dibersihkan kemudian diuap dan ada sinar lasernya dan tidak perlu minum obat sebab obatnya sudah dalam bentuk infus, kata dokternya.

Selesai terapi itu, S dibawa lagi ke ruang dokter. Yang membuat S seperti kesetrum sang dokter mengatakan harus operasi hari itu juga

"Saya kaget masa tiba-tiba harus operasi? Tentunya saya menolaknya. Si dokter dengan berbagai alasan medis mengatakan kalau nggak dioperasi sekarang bisa jadi parah nantinya," kata S.

S sendiri sudah membuat alasan tidak punya uang, dan duitnya hanya sisa di ATM Rp1 jutaan.

Mendengar itu sang dokter justru menganjurkan agar uang di ATM itu bisa buat DP saja. "Saya semakin bingung,sudah bayar hampir Rp 5 juta buat terapi sayang banget kalau nggak ditotalin sekalian, kepaksa dibayar DP pakai sisa duit di ATM."

Cek Hotel di Jakarta, Bandingkan Tarifnya | Cek Hotel di Parapat, Danau Toba, Bandingkan Harga dan Baca Ulasannya | Cek Hotel di Bandung, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Cek Hotel di Surabaya, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya

Dari itu mulai muncul kecurigaan setelah dipaksa bayar,disuruh lagi terapi infus, dibawa keruangan berderet single sofa yang masing masing sebelahnya ada tiang infus.

Di sanalah S bertemu pasien lain di ruangan sebanyak dua orang yang mengatakan sudah habis Rp100 jutaan dan berbisik kepadanya jangan sampai terjebak di sini.

"Kalau dihitung-hitung kami sudah sampai habis total Rp100 jutaan. Karena itu, jangan sampe kejebak disini, kliniknya nguras duit banget, begitu bisikan mereka kepada saya saat di dalam ruangan. Bisikan mereka membuat saya tambah curiga," ucap S.

Kritikan para korbanpun mendapat tanggapan dari salah seorang pegawai klinik tersebut yaitu Yani. Pria ini menyampaikan permohonan maaf kepada pasiennya kalau ada pelayanan dari klinik yang dinilai kurang.

"Kalau ada keluhan bisa langsung dilaporkan kepada saya. Mungkin bisa saya bantu dan akan berusaha jika ada kekurangan klinik," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta dr Dien Emmawati menyebut sudah mencabut izin usaha Klinik Metropole ini.

"Benar izin usahanya sudah dicabut pada akhir Agustus 2014. Izinnya dicabut dan pemiliknya diberikan surat pencabutan," kata Dien Emmawati.

Dikatakan, ada dua penyalahgunaan izin yang dilakukan pengelola klinik yang tepatnya berloaksi di Jalan Pintu Besar Selatan No38 RT 012 RW 05, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakbar itu.

Pada sekitar Juni 2014, Suku Dinas Kesehatan Jakbar memberikan izin untuk Klinik Metropole kategori izin praktik pratama. Yang diperbolehkan praktik hanya dokter umum dan dokter gigi saja.

Namun, pengelola Klinik Metropole membuka rawat inap yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh klinik yang masuk kategori klinik pratama. "Kalau mau buka rawat inap izinnya bukan klinik pratama, tapi klinik utama," ujar Dien.

Selain itu, sambung Dien, pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola Klinik Metropole adalah melakukan kegiatan operasi dan mempekerjakan tenaga asing tanpa izin. Atas dasar itulah, pada Agustus 2014, pihak pengelola Klinik Metropole mendapat teguran dari Kasudin Kesmas Jakbar namun teguran tersebut tidak membuat pengelola kapok. (jo-6)


Mengunjungi London? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Wisata ke New York? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya | Jalan-jalan ke Las Vegas? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.