Abdul Haris Semendawai (kanan)
JAKARTA, JO – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi penguatan peran masyarakat sebagai pelapor (whistleblower) pada kasus korupsi. Penguatan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, peraturan pemerintah yang baru ditandatangani Presiden Jokowi ini secara langsung mengakui pentingnya peran pelapor dalam tindak pidana korupsi. Tidak itu saja, di dalamnya juga menyebutkan hak-hak bagi pelapor untuk mendapatkan perlindungan, baik fisik maupun hukum, yang dilakukan penegak hukum bekerja sama dengan LPSK.

Sebenarnya, menurut Semendawai, lahirnya PP Nomor 43 Tahun 2018 mengganti PP Nomor 71 Tahun 2000, yang juga mengatur perihal yang sama. Akan tetapi, pada PP yang baru disahkan ini, ada beberapa progres yang dianggap penting dalam lebih maju dalam penguatan peran pelapor dalam kasus korupsi.

“Kemajuan itu antara lain mengenai durasi waktu dalam memproses laporan dari pelapor, serta soal besaran penghargaan dan pelaksanaannya,” kata Semendawai dalam jumpa wartawan di kantor LPSK membahas, “Perlindungan Aparatur Sipil Negara Berstatus Saksi, Pelapor dan Justice Collaborator” bersama pejabat Pengawas dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara (BKN) P Marpaung, Rabu (10/10-2018).

Pada kesempatan itu, Semendawai menjelaskan, pada PP terdahulu, setelah pelapor memberikan laporannya ke penagak hukum, tidak ada kepastian, kapan laporan itu akan ditindaklanjuti. Beda halnya dengan PP Nomor 43 Tahun 2018. Di dalam PP ini, disebutkan secara jelas, laporan akan ditindaklanjuti paling lambat 30 hari sejak laporan itu disampaikan ke penegak hukum.




Sedangkan mengenai penghargaan bagi pelapor, sama seperti PP sebelumnya, kepada para pelapor akan diganjar penghargaan berupa piagam dan premi. Hanya saja, pada PP Nomor 71 Tahun 2000, berapa besaran dan pihak mana yang akan memberikan, tidak diatur secara jelas. “Bisa dikatakan, ada tapi tiada. Aturannya ada, tetapi dalam pelaksanaan sulit dilakukan karena belum ada kejelasan,” imbuh Semendawai.

Sementara pada PP Nomor 43 Tahun 2018, besaran premi dan pihak mana yang akan membayar sudah diatur. Untuk korupsi, pelapor bisa mendapatkan premi 2 permil dari kerugian negara yang dapat dikembalikan ke kas negara, dengan maksimal senilai Rp200 juta. Untuk kasus suap, presmi juga sama 2 permil, namun maksimalnya hanya Rp10 juta.

“Siapa yang akan membayar premi? Masing-masing instansi dimana pelapor itu menyampaikan laporannya. Pembayaran premi akan dilakukan setelah kerugian negara yang berhasil diselamatkan masuk ke rekening negara,” kata Semendawai sambil menambahkan, semua elemen masyarakat berperan melaporkan korupsi, termasuk ASN. Sebab, banyak kasus korupsi terjadi di lingkungan sekitar ASN. Terkait hal itulah, kepada ASN juga diperlukan perlindungan, baik fisik maupun hukum karena mereka rentan akan ancaman dan intimidasi pada saat akan melaporkan dugaan penyimpangan yang diketahuinya.

Pejabat Pengawas dan Pengendalian BKN P Marpaung menambahkan, dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, jelas disebutkan, bagi PNS yang mengetahui adanya penyelewengan yang bakal membahayakan negara dan pemerintah, wajib melaporkannya. Jika tidak atau sengaja mendiamkan ada dugaan penyelewenangan itu, yang bersangkutan terancam hukuman pelanggaran disiplin. (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.