Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai (kanan).
JAKARTA, JO – Salah satu hak korban, yakni ganti kerugian dari negara (kompensasi), khususnya dalam tindak pidana terorisme semakin diakui. Terlihat dari beberapa putusan hakim yang mengabulkan tuntutan kompensasi yang diajukan para korban, seperti pada kasus terorisme di rumah ibadah di Samarinda dan penyerangan di Polda Sumut.

Yang terbaru, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga mengabulkan tuntutan kompensasi yang diajukan 16 korban serangan terorisme, yang terdiri atas 13 korban di Jalan MH Thamrin Jakarta (2016), dan tiga orang korban pada kejadian di Terminal Kampung Melayu (2017).

Dalam amar putusannya, majelis hakim mengabulkan kompensasi sebesar Rp1.017.107.363, dari total tuntutan kompensasi yang diajukan sebesar Rp1.341.663.213. “Sebagai lembaga yang diperintahkan undang-undang untuk memfasilitasi tuntutan kompensasi bagi korban terorisme, LPSK tentu sangat mengapresiasi putusan majelis hakim itu,” kata Semendawai, Kamis (5/7/2018).

Setelah keluarnya putusan kompensasi bagi korban terorisme Jakarta dan Sumut, LPSK tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan perihal anggaran yang akan digunakan untuk pembayaran. Sedangkan untuk penyerahannya nanti, LPSK berinisiatif agar penyerahan kompensasi dapat dilakukan Presiden Jokowi.




Kehadiran Presiden bagi korban terorisme, menurut Semendawai, sesungguhnya menjadi salah satu bentuk representasi negara yang bertanggung jawab akan kejadian yang menimpa warganya. Karena esensi dari kompensasi atau ganti kerugian dari negara, bukan dilihat dari berapa besar nominal rupiah yang diserahkan karena hal itu tidak akan mampu mengobati atau mengembalikan jiwa korban yang tewas akibat serangan terorisme, tetapi paling tidak menjadi salah satu bentuk tanggung jawab negara terhadap masyarakat yang menjadi korban.

Semendawai mengatakan, korban terorisme masa lalu atau yang persidangan maupun proses hukumnya telah usai, juga tetap berpeluang mengajukan kompensasi. Karena dalam revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dibuka peluang bagi korban terorisme yang terjadi pada masa lalu untuk mendapatkan kompensasi.

Korban terorisme masa lalu yang persidangannya usai dan belum mendapatkan kompensasi, juga berhak mendapatkan kompensasi dengan cara mengajukan permohonan kepada LPSK. Permohonan mendapatkan bantuan, termasuk di dalamnya kompensasi, harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain penetapan sebagai korban yang dikeluarkan BNPT.

Permohonan dimaksud diajukan paling lama tiga tahun terhitung sejak revisi UU tentang Pemberantasan Terorisme mulai berlaku. Sedangkan untuk besaran kompensasi dihitung dan ditetapkan oleh LPSK setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. “Koordinasi intensif dilakukan antara LPSK dan BNPT serta LPSK dan Kementerian Keuangan,” ujar Semendawai.

Selain kompensasi, lanjut dia, LPSK juga tetap memberikan layanan perlindungan dan bantuan bagi korban terorisme, baik perlindungan fisik maupun perlindungan hukum, bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Sejumlah korban terorisme masa lalu yang belum mendapatkan bantuan seperti medis dan psikologis, saat ini juga tengah dilakukan, antara lain korban kasus bom Kedubes Australia dan JW Marriot. Dengan demikian, selama tahun 2018 (hingga Juni), LPSK tercatat memberikan layanan bantuan kepada 94 korban terorisme. (jo-2)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.