Di Depan Pansus DPR, Kapolri Jelaskan Tiga Model Pemberantasan Terorisme

Tito Karnavian dan Jokowi
JAKARTA, JO - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian dipanggil DPR terkait Pansus Revisi UU Terorisme untuk memberi pendapat serta penjelasan gerakan terorisme dan penegakan hukumnya di Indonesia.

Di hadapan para anggota dewan, Kapolri menjelaskan berbagai langkah Pemerintah, sedikit pandangan tentang gerakan teroris dan ideologinya di Indonesia.

Dijelaskan oleh Tito, langkah pertama menugaskan Kepolisian adalah pascabom Bali, di mana dibentuk Satgas Bom Bali. Setelah itu, pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada 2002 dan 2003.

Pada tahun 2003, Perppu itu diundangkan oleh DPR, mengandung dua aspek utama, yakni mengkriminalisasi sejumlah perbuatan yang masuk dalam tindak pidana terorisme, tanpa memuat definisi umum tentang apa itu terorisme. Artinya, UU itu hanya memuat sejumlah perbuatan yang sebelumnya sudah diatur di KUHP, hanya ditambahkan perberatan ancaman hukuman.

Akhirnya, kasus Bom Bali berhasil diungkap, berlanjut kepada terungkapnya jaringan Al Jamaah Al Islamiyah. Terungkap bahwa pelaku ini terkait dengan Alqaedah.

"Di situ ada kelompok Ali Imron, Dokter Azhari, Nurdin M Top, dan lain-lain. Mereka terkoneksi dengan Alqaeda melalui Hambali. Hambali tertangkap tahun 2003 di Thailand dan dibawa ke Guantanamo, sampai hari ini. Dalam pengakuan para tersangka dan Hambali, mereka terkait langsung dengan Alqaeda," kata Tito di Jakarta, Rabu (31/8).

Setelah itu, lebih dari 1.000 orang ditangkap dan 600-an orang diproses hukum. Gerakan dilakukan oleh Pemerintah, akademisi, praktisi, yang berusaha memahami lebih dalam siapa mereka, motif, bagaimana bentuk jaringan, dan lain-lain.

"Ternyata kelompok Al Jamaah Al Islamiyah ini berasal dari jaringan lokal yaitu NII yang awal mulanya dari Darul Islam," ujar Tito.

Sementara di dalam negeri, terjadi pergulatan antarsekte, yakni Kelompok Ambon dan Yang di Poso. Tito mengatakan, kelompok ini menganggap jihad adalah rukun Islam yang keeenam, sehingga wajib hukumnya.

"Sehingga bila tidak dilaksanakan, mereka dosa. Jadi sama syahadat anggapannya. Konsekuensinya jihad harus dilakukan, dan untuk dilakukan harus cari tempat jihad. Di tahun 1999, terjadi konflik sektarian di Ambon dan Poso. Sempat terjadi kevakuman. Di masa transisi itu konflik tak terselesaikan dengan cepat sehingga berkembang lagi di tahun 2001," jelas Tito.

Menurut Tito, kelompok jihad lainnya hadir karena menganggap ada ketidakefektifan dalam melindungi kelompok Muslim.

Selanjutnya terkait pembahasan RUU Terorisme, Tito menjelaskan, ada tiga model pemberantasan terorisme. ketiga model itu yakni military led system, intelligence led system, dan criminal justice system. Bagi Kepolisian RI, criminal justice system yang berbasis penegakan hukum paling memungkinkan untuk digunakan.

Menurut Tito, Indonesia pernah menggunakan military led system, yang mengedepankan peran militer di era Orde Lama, dan Intelligence Led System di era Orde Baru. Baginya, pascareformasi 1998, ada desakan kuat akan lebih ditegakkannya supremasi hukum, akuntabilitas, serta transparansi. Juga ada prinsip penegakan HAM.

"Sehingga criminal justice lebih layak," ungkap Tito. (amin)

Sebelum ke Yogyakarta, Cek Dulu Tarif Hotel dan Ulasannya Ke Bandung? Cek Dulu Hotel, Tarif dan Ulasannya Disini Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.