Mayat Bocah dalam Kardus, Negara Harus Perang Kekerasan Anak

Mayat bocah dalam kardus.
JAKARTA, JO- Pembunuhan keji yang dialami bocah perempuan siswa SD di Kalideres, Jakarta Barat yang mayatnya ditemukan di dalam kardus, membuat kerprihatinan mendalam anggota DPD RI. Negara ternyata belum menjadi ancaman bagi para pelaku kekerasan anak.

Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Jakarta, Fahira Idris dalam keterangannya di Jakarta, Senin (5/10), mengatakan Indonesia masih belum memiliki sistem perlindungan anak yang komprehensif.

"Negara dalam hal ini eksekutif (Pemerintah Pusat/Daerah), legislatif, yudikatif, termasuk aparat penegak hukum terutama polisi, jaksa dan hakim belum menjadi ancaman menakutkan bagi siapa saja orang dewasa di Indonesia untuk jangan pernah melakukan kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun," kata Fahira yang juga Wakil Ketua Komite III DPD RI ini.

Menurutnya, upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak masih parsial dan bergerak sendiri-sendiri. Upaya perlindungan anak semakin melemah karena belum ada keberpihakan anggaran, dan ini berlangsung sudah puluhan tahun.

“Kita mau dengar, negara melalui Presiden dengan lantang menyatakan bahwa kita perang terhadap kekerasan anak. Kemarin, saat Hari Anak Nasional (23/7), saya mengira Presiden akan paparkan terobosan perlindungan anak, tetapi tidak ada sama sekali. Perlindungan anak di Indonesia seperti tanpa arah dan komando,” ujar Senator Asal Jakarta ini.

penerbangan murah

Cek hotel di Lombok, bandingkan harga dan baca ulasannya | Liburan ke Surabaya? Cari hotel, bandingkan tarif dan baca ulasannya | Cek hotel di Parapat, Danau Toba, bandingkan harga dan baca ulasannya | Jalan-jalan ke Las Vegas? Temukan harga hotel terendah

Negara, menurut Fahira, belum punya strategi bagaimana membangun sistem perlindungan anak yang mampu menjamin anak agar tidak lagi menjadi korban kejahatan seksual.

Pemerintah juga belum mampu menggerakkan semua struktur yang ada dalam masyarakat mulai dari yang terkecil (RT/RW, sekolah, dan lainnya) sebagai basis upaya preventif kekerasan anak termasuk upaya menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak serta memastikan anak terbebas dari potensi kejahatan terutama seksual.

“Coba perhatikan setiap pemilu, ada tidak, calon anggota dewan yang punya program perlindungan anak? Ada tidak, calon kepala daerah yang mencantumkan konsep perlindungan anak dalam program aksinya? Kalau ada, hanya segelintir. Atau saat Pilpres kemarin, ada tidak, debat calon presiden tentang perlindungan anak? Kita masih menepikan persoalan perlindungan anak. Konsekuensinya, peristiwa seperti yang dialami Engeline, PNF, akan terus terulang,” tegas Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri (Abadi) ini.

Kondisi ini setali tiga uang dengan upaya penegakan hukum. Masih ada oknum penegak hukum yang belum tanggap dalam menangani kekerasan terhadap anak yang sebenarnya adalah kejahatan luar biasa. Bahkan, masih ditemukan hakim yang memutus vonis ringan pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan jaksa penuntut umumnya sama sekali tidak mengajukan banding.

“Kekerasan terhadap anak apalagi perkosaan bukan delik aduan. Jadi polisi harus menanganinya dengan cepat dan serius tanpa harus menunggu laporan. Hakim juga harus tegas. Semua kejahatan anak harus dihukum berat bahkan jika sampai menghilangkan nyawa bisa dihukum mati. Ini sebagai tanda bahwa negara ini perang terhadap kekerasan anak. Kalau negara tegas, jangankan berbuat, berniat menyakiti anak saja, orang-orang sudah tidak berani,” ucap Fahira. (jo-4)

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.