Gedung DPR RI
JAKARTA, JO- Niat pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk menjadikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi hanya Komisi Pengawas Isi Siaran (KPIS) mendapat perlawanan keras dari Komisi I DPR.

Hal itu terlihat dalam pembahasan RUU Penyiaran dalam Rapat Panja RUU Penyiaran di Komisi I DPR, Jakarta, Rabu (25/6). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi I DPR Mahfud Siddiq ini dimulai pukul 13.30 WIB dan diakhiri sekitar pukul 18.30 WIB.

Pantauan JakartaObserver.com, perdebatan mulai terjadi ketika pimpinan sidang membacakan Daftar Isian Masalah (DIM) 27 pasca rehat sekitar pukul 16.30 WIB. DIM 27 berisikan Ketentuan Umum Pasal 1 yang dalam UU No32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada point 14 ditetapkan "Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran."

Terkait perubahannya di RUU Penyiaran, pihak DPR mengusulkan izin itu "diberikan oleh negara", sementara versi pemerintah menyebut "diberikan oleh pemerintah".

Dimulai dari Evita Nursanty, anggota Panja RUU Penyiaran dari Fraksi PDI Perjuangan, menyatakan sikap ngotot pemerintah yang diwakili Dirjen PPI Kalamullah Ramli ini berdampak sangat serius kepada keseluruhan pasal-pasal lain dalam draft RUU Penyiaran.

Menurutnya, mengubah "negara" menjadi "pemerintah" seperti usulan pemerintah ujung-ujungnya akan terkait dengan KPI, dan berakhir dengan upaya mengkerdilkan komisi itu, padahal salah satu semangat revisi UU Penyiaran ini adalah untuk memperkuat KPI.

"Ini serius, kenapa kita mundur lagi ke belakang tiba-tiba hak publik ingin dihilangkan sesuatu yang sudah sepakati dalam raker dengan pemerintah, dan segala sesuatunya diatur pemerintah. Kita terus terang saja disini, arah pemerintah ini kan ke KPI, dan DIM 27 ini mengubah semua. Saya yakin Kominfo punya alasan, kita ingin terbuka," protes Evita.

Tantowy Yahya dari Fraksi Partai Golkar juga berpendapat sama, dan menegaskan DIM 27 ini menjadi awal sengketa kewenangan yang terus terjadi antara pemerintah dan KPU.

"UU No32 Tahun 2002 tentang Penyiaran semangatnya jelas yakni milik publik dan campur tangan pemerintah seminimum mungkin. Tapi pemerintah sekarang mengusulkan semua kembali ke pemerintah. Kita sudah mundur," kata Tantowy.

Menurut Tantowy, kalau usulan pemerintah ini diterima DPR, maka ada pengingkaran dari dibentuknya KPI tahun 2002. "Sampai kapan pun kalau pemerintah tetap pada usul seperti itu menjadikan domain rakyat diurusi pemerintah akan mentok di DPR," sambungnya.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan lainnya, Heri Ahmadi juga melempar kritik kenapa Kemenkominfo ingin menjadikan KPI menjadi Komisi Pengawas Isi Siaran (KPIS). Saat Dirjen Penyelenggaran Pos dan Informatika Kominfo Kalamullah Ramli mencoba untuk membela diri dengan mengatakan dirinya tidak punya pendapat lain selain usulan yang ada dalam DIM, dan bahwa sikap itu sudah dibahas oleh Menkominfo Tifatul Sembiring sampai Wapres Boediono, Heri Ahmadi memotongnya.

"Maaf saya memotong. Dalam konsep Bapak ini tidak ada lagi KPI, tapi KPIS, ini sudah terlalu jauh, bukan memperkuat tapi malah menghabisi," katanya.

Padahal, menurutnya, KPI itu harus diletakkan seperti KPK dalam urusan pemberantasan korupsi. "Kalau pemerintah ingin menghapus KPI kenapa tidak tulis saja di DIM ini 'KPI Dihapus', supaya kita tahu," kata Heri.

Evita Nursanty menimpali lagi, diversity of content dan diversity of ownership yang menjadi semangat UU Penyiaran, tidak bisa terwujud sampai saat ini karena pemerintah memang tidak mampu untuk melakukannya sendiri.

Suasana semakin seru ketika Ketua Komisi I Mahfud Siddiq juga ikut , mengingatkan pemerintah mengenai UU Penyiaran yang masih berlaku saat ini, yang ada adalah kata "negara" dan bukan "pemerintah".

Dia juga mengingatkan UU Penyiaran disahkan tahun 2002 pada saat terjadi perubahan dramatik dalam konsep negara dari otoriter ke demokratis yang membuka ruang partisipasi publik. Beranjak dari situlah kemudian muncul lembaga kuasi negara.

Namun begitu, Dirjen Penyelenggaran Pos dan Informatika Kominfo Kalamullah Ramli mengatakan sikap bahwa pemerintah tetap menjadi pihak yang mengeluarkan izin, sesuai dengan UU No5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), dengan penegasan hanya badan atau pejabat TUN yang dapat menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran.

"Dengan demikian KPI tidak masuk dalam kategori sebagai Badan Tata Usaha Negara, artinya KPI tidak mungkin menjadi instansi penerbit izin penyelenggara penyiaran," kata Kalamullah Ramli.

Hingga berita ini diturunkan belum ada titik temu diantara kedua pihak yang ikut pembahasan RUU itu. (jo-2)


Mengunjungi London? Cek Daftar Hotel, Bandingkan Tarif dan Baca Ulasannya

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.